Thursday, September 12, 2013

Laporan Pelatihan “Pendampingan Hukum bagi Korban Trafiking”


Dalam menanggulangi perdagangan manusia, berbagai daya upaya telah dilakukan mulai dari tindakan pencegahan, penegakkan hukum, pemulihan, reintegrasi (ganti rugi) baik oleh pemerintah, maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Namun, sampai sekarang ini, masih banyak korban perdagangan manusia yang tidak melaporkan kasus mereka dan pelaku tidak dijerat dengan hukum yang sebagaimana mestinya. Maka, Solidarity Center yang bekerja sama dengan Peduli Buruh Migran menyelanggarakan pelatihan dengan tajuk ”Pendampingan Hukum bagi Korban Trafiking” pada tanggal 3—4 September yang lalu di Cikini. Sebanyak tiga belas orang baik dari lembaga pemerintah, maupun LSM mengikuti pelatihan tersebut. Beberapa di antaranya berasal dari Solidaritas Perempuan, Migrant Care, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Peduli Buruh Migran, Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC), Gembala Baik, dan Sahabat Insan.

Pembicara selama dua hari tersebut adalah Bapak Willy Balawala, selaku program officer Solidarity Center, dan Ibu Erna Ratnaningsih dari LBH APIK. Pertemuan pada hari pertama tersebut (3/9), dimulai dengan suasana yang cair dan penuh keakraban. Masing-masing dari kami berbagi pengalaman ketika menangani para buruh migran yang menjadi korban. Pemaparan yang tak terkira datang dari Pak Willy di awal. Secara global, lima tahun lalu, kasus perdagangan orang terbesar ketiga setelah senjata dan narkoba. Namun, sekarang persoalan perdagangan orang telah menjadi masalah pertama di dunia.

Salah satu isu hangat yang diangkat adalah kasus anak-anak yang dijual untuk menjadi anak buah kapal (ABK). Mereka sampai berlayar ke Pulau Christmas di Australia. Sampai saat ini, proses hukum masih berjalan. Anak-anak tersebut selain mendapat kekerasaan selama bekerja, mereka juga tidak digaji.

Usai bercerita, pelatihan dimulai tentang definisi dari perdagangan orang seperti yang dimuat dalam Pasal 2 (1) dan (2) UU  No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO). Bunyinya adalah setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan uang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, di pidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Kita dapat membaginya menjadi tiga unsur yaitu proses, jalan atau cara, dan tujuan. Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang tereksploitasi, maka pelaku dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

Berangkat dari definisi tersebut, kami dihadapkan dengan berbagai contoh kasus untuk mengidentifikasi apakah itu kasus perdagangan orang atau bukan. Jadi, kasus yang dapat dijerat dengan UU TPPO adalah yang memenuhi tiga unsur tersebut, apabila kurang salah satu, pelaku tidak dapat dijerat dengan UU TPPO. Selain itu, yang perlu digarisbawahi adalah sekalipun korban awalnya telah setuju kepada si pelaku perdagangan orang untuk pergi bekerja, hal itu tidak membuat si pelaku menjadi bebas.

Penipuan adalah modus yang paling sering dilakukan untuk merekrut tenaga kerja. Sang penipu dengan jani manisnya berkata kepada keluarga dan korban tentang pekerjaan baik dengan gaji tinggi. Untuk janji-janji yang tinggi itu dokumen-dokumen korban dipalsukan. Ternyata apa yang terjadi? Apa yang kemudian mereka alami? Korban kemudian dieksploitasi, mereka dijual, tempat mereka bekerja tidak sesuai dengan janji awal, mereka dianiaya oleh majikan, gaji  mereka pun tidak dibayar, atau bahkan mereka dijadikan pelacur. Salah satu contoh yaitu kasus trafiking di Batam, sebanyak 100 perempuan dipekerjakan di diskotek, salon, tempat pijat, atau tempat pelacuran di sana. Hal ini menjadi sulit diberantas salah satunya karena sudah menjadi bisnis dari para mafia yang memiliki akses dan aset tak terkira. 

Berikut beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh para pendamping korban perdagangan orang.
  • Menempatkan korban di rumah aman atau shelter. Memperhatikan kondisi korban, beberapa korban cenderung tak mau terbuka, memiliki kecurigaan tinggi sekali. Oleh karena itu, pendamping butuh kesabaran luar biasa dan perlu melakukan sistem kekeluargaan. Baik apabila tidak langsung melakukan assesment, melainkan pendekatan, mengobrol seperti keluarga, sampai korban mau terbuka. Setelah itu, baru bercerita saat kondisi korban sudah membaik.
  • Melapor kepada kepolisian setelah memberi tahu berbagai proses yang akan dilalui korban apabila menempuh jalur hukum.
  • Melakukan visum apabila korban terluka atau teraniya dalam rangka membantu mengumpulkan bukti-bukti.
  • Meminta polisi tidak memakai pakaian polisi saat BAP, apabila memungkinkan juga meminta polisi perempuan. Hal itu akan membuat korban lebih nyaman untuk bertemu dan menyampaikan berbagai hal. Karena sangat wajar bila si korban tertutup, mengingat orang-orang yang dia jumpai ternyata trafiker.
  • Tempat pemeriksaan juga lebih baik tidak di kantor polisi.
  • Kata-kata yang digunakan dipilih. Para pendamping diharapkan lebih “sensitif”.
  • Melakukan mediasi dengan tujuan menuntut restitusi (ganti rugi). Tetapi, beberapa mediasi yang terjadi berdampak pada berhentinya proses pengadilan. Oleh karenanya, menjadi penting melihat bahwa kasus TPO yang merupakan delik biasa, sebaiknya tidak melakukan mediasi kalau akibatnya adalah untuk menghentikan proses pengadilan.
  • Dalam proses persidangan, korban berhak mendapatkan informasi yang dapat diintervensi menggunakan UU Keterbukaan Informasi Publik. Kalau tidak diberikan, dapat digunakan sengketa informasi publik.
  • Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) bisa menjadi salah satu tempat untuk menuntut perlindungan bagi korban.
  • Memediasi korban dengan keluarganya.
  • Bekerja sama dengan semua pihak seperti polisi, jaringan LSM, LBH, pengacara, pers.
  • Mengawal proses hukum yang berlangsung sampai putusan keluar.
Pelatihan hari pertama sebenarnya banyak dihabiskan dengan berbagi cerita. Pada hari berikutnya (4/9) kami lebih fokus membahas strategi-strategi advokasi dalam mendampingi dan memulihkan korban, proses peradilan pidana, dan mendapatkan alat bukti. Pada dasarnya, kekhususan memakai UU TPPO adalah karena dalam KUHAP tidak ada hukuman minimal, sedangkan di dalam UU TPPO Pasal 2, hukuman minimal 3 tahun bagi pelaku.

Penting diketahui bahwa kebanyakan kasus yang seharusnya kasus perdagangan orang, tidak dimasukkan oleh polisi ke dalam UU TPPO. Hal itu, seringkali disebabkan karena polisi tidak tahu tentang UU TPPO dan dalam proses yang berjalan, polisi yang memeriksa pekara berganti, sehingga pendekatan dari pendamping bisa jadi sia-sia apabila ini terjadi. Maka, UU TPPO menjadi semacam kitab suci bagi para aktivis yang hendak mengadvokasi para korban perdagangan orang.

Proses hukum yang dijalani korban bisa sangat lama dan belum tentu pelaku tertangkap. Selain itu, yang menjadi kendala adalah sistem rantai putus. Perekrut tidak selalu menjadi pelaku perdagangan orang. Karena setelah korban direkrut dari daerah asal, kemudian dijual ke agen lain. Jadi tidak ada pemantauan secara terus-menerus dari perekrut. Bisa jadi korban juga dibuang begitu saja. Jadi, antara perekrut, agen satu dan agen yang lain, tidak saling kenal. Justru mereka menghilangkan jejak agar tidak kena proses hukum. Apalagi kalau korban sudah lintas negara, semakin sulit dan lama proses hukumnya.

Karena selain keberanian, tentu dalam proses peradilan, baik pendamping atau korban membutuhkan kesabaran. Kasus TPPO ini membutuhkan waktu sampai bertahun-tahun untuk menjerat pelaku ke penjara serta demi menuntut ganti rugi yang setimpal. Ganti rugi yang diberikan pun bisa sangat tidak sesuai dengan yang dituntut.

Terkait dengan pelaku perdagangan orang, sering yang terjadi pelakunya adalah orangtua korban sendiri. Orang-orang terdekat korban justru memiliki peluang paling besar untuk menjerumuskan sanak saudara mereka ke dalam perdagangan orang. Bukan berarti karena keluarga mereka tidak dijerat hukuman. Hal inilah yang kemudian menjadi perbincangan kami karena begitu dilematis persoalannya. Dalam UU TPPO Pasal 9 ditulis bahwa setiap orang yang berusaha menggerakan orang lain supaya melakukan tindak pidana perdagangan orang dijerat pidana pula. Dengan demikian, orangtua pun bisa terjerat. Walaupun, ada juga orangtua korban yang memang tidak tahu dan tidak bermaksud menjual anaknya. Mungkin orangtuanya berada dalam kemiskinan, pendidikan rendah, terjerat hutang, ditipu, dsb.. Ada juga orangtua yang memang ikut serta memalsukan dokumen dan menjual secara terang-terangan anak-anaknya. Sayangnya, dalam logika hukum, ketidaktahuan tidaklah diterima, sekalipun dapat dikatakan bahwa orangtua minim pegetahuan, dsb.. Pada akhirnya, kebanyakan korban tidak melanjutkan kasusnya.

Advokasi bagi korban meliputi litigasi (jalur hukum) dan nonlitigasi (nonhukum). Keduanya harus dilakukan secara bersama-sama. Pendamping juga tidak boleh lupa untuk menanyakan keinginan utama korban. Apakah korban memang ingin menempuh jalur hukum untuk memenjarakan pelaku dan menuntut ganti rugi atau tidak. Pendamping tidak dapat memaksakan, hanya berusaha memberi tahu secara detail proses beserta risiko yang akan korban jalani bila memilih jalur hukum.

Karena perdagangan orang sudah menjadi masalah kemanusiaan paling besar di seluruh dunia, maka sudah seharusnya semua pihak mulai dari keluarga, civil society, pemerintah, serta media saling bekerja sama untuk menuntaskan persoalan ini.