Thursday, March 27, 2014

Mengunjungi Anak-anak Panti Samuel di RSPA



Anak-anak itu terlihat begitu gembira memakan kerupuk. Suasana hari itu tampak seperti sedang tujuh-belas-an. Para pengurus RSPA (Rumah Penampungan Sementara Anak) yang dikelola oleh Departemen Sosial, sengaja mengadakan lomba makan kerupuk untuk 30-an anak-anak. Di antara mereka, 20-an anak-anak berasal dari Panti Samuel. Kami juga diberi tahu pengurus RSPA bahwa di dalam ruangan ada beberapa bayi yang tengah tertidur.


Sahabat Insan mengunjungi anak-anak tersebut pada Jumat, 21 Maret 2014 yang lalu. Ketika Sahabat Insan datang, anak-anak tengah berlomba makan kerupuk. Kerupuk-kerupuk yang digantung itu diberi sambal oleh mereka. Diiringi dengan suara musik, mereka mulai adu cepat siapa yang dapat menghabiskan kerupuk terlebih dahulu. Usai lomba, bukan hanya mulut mereka yang belepotan sambal, baju mereka pun juga terlihat percikan noda-noda sambal dan serpihan-serpihan kerupuk.

Ketika kami memperhatikan anak-anak tersebut satu per satu, ternyata raut wajah gembira itu tidaklah dapat menyembunyikan berbagai penderitaan mereka yang lalu. Dengan memperhatikan sekujur tubuh mereka, kami semakin merasa iba kepada mereka. Sebab, di wajah, tangan, atau kaki mereka terlihat bekas-bekas luka.   


Hampir semua anak-anak di sana terlihat begitu kurus, muka mereka tirus, dan tulang-tulang di tubuh mereka dapat terlihat jelas. Kesan tak terawat, berantakan, sembarangan, begitu terasa ketika berada dekat dengan anak-anak itu. Ketika lomba berlangsung, beberapa anak-anak mengganggu kawannya yang sedang memakan kerupuk. Dari tingkah laku mereka, kami dapat maklum karena mungkin mereka tak mendapat cukup didikan, perhatian, atau kasih sayang.

Ketika lomba selesai, anak-anak itu dengan sangat agresif mengambil kerupuk-kerupuk dari tali-tali rapiah untuk mereka makan. Ada seorang anak laki-laki yang mengulum tali rapiah tak henti-henti. Suster Euginia sampai mendekati dan membujuknya untuk mengeluarkan tali dari mulutnya dan membuangnya. Bahkan mereka juga memunguti kerupuk-kerupuk yang jatuh untuk kemudian mereka makan. Meskipun sudah dilarang oleh para pengurus yang melihat mereka, namun perbuatan itu tetap mereka lakukan lagi. Sungguh kondisi yang memprihatinkan. Bisa jadi mereka melakukan hal tersebut karena sewaktu di Panti Samuel, mereka tidak mendapatkan makanan yang cukup dan layak.


Seorang perempuan yang tidak ikut serta berlomba, terlihat berwajah murung. Dia duduk sendirian di halaman depan. Ketika ditanya kenapa dia tak ikut, anak perempuan itu hanya menjawab sekadarnya saja, ”Tidak mau,” katanya. Baru belakangan kami tahu bahwa anak perempuan berambut panjang itu adalah salah satu korban pelecehan seksual yang dilakukan oleh Samuel. Kami hanya dapat menggelengkan kepala mengasihani anak itu sambil berdoa dalam hati untuknya.

Acara lomba makan kerupuk hari itu tentu menjadi penghibur bagi anak-anak di sana. Kami tidak tahu sampai kapan anak-anak itu akan ditampung di RSPA dan bagaimana kehidupan mereka yang akan datang, siapa yang akan mengurus mereka, memberi pendidikan, dan kasih sayang.


Masa kanak-kanak hanya sekali saja terjadi dalam kehidupan kita. Masa yang seharusnya menjadi kesempatan anak-anak mendapat kasih sayang, bermain bersama kawan-kawan, masa tumbuh kembang untuk menjadi pribadi yang matang. Sebagian masa kecil mereka telah terisi dengan berbagai pengalaman buruk dan pahit di Panti Samuel. Semoga mendatang, ada tangan-tangan murah hati yang mau merawat mereka.

Sahabat Insan berencana datang kembali ke RSPA minggu depan untuk sekadar berkunjung, menghibur, dan sedikit berbagi makanan untuk anak-anak.

Terkait berita ini dapat dibaca secara lengkap di:

Thursday, March 20, 2014

Kisah 74 Anak Buah Kapal Korban Trafiking dari Afrika Selatan


Mereka yang menjadi korban perdagangan manusia/trafiking ternyata bukan hanya perempuan, laki-laki pun dapat juga menjadi sasaran. Jikalau banyak orang mengira bahwa mereka yang menjadi korban trafiking adalah orang-orang yang bodoh atau tidak berpendidikan, tentulah kurang tepat. Faktor utama yang menjerumuskan mereka adalah karena faktor ekonomi, kemiskinan. Dorongan untuk bekerja begitu kuat, maka tanpa berpikir panjang mereka melakukan apa yang diminta agen. Dengan demikian, mereka menjadi begitu rentan ditipu.

Kebanyakan mereka, para laki-laki, baik yang berusia anak, maupun usia dewasa, tertipu karena iming-iming bekerja sebagai Anak Buah Kapal (ABK). Kenapa tertipu? Karena ternyata agen yang memberi kerja ilegal, dokumen mereka dipalsukan, tempat kerja mereka tidak sesuai dengan yang dijanjikan, dan mereka tidak dibayar selama menjadi ABK. Dan yang lebih memprihatinkan lagi, banyak dari mereka yang ternyata diperalat oleh para pemilik kapal yang adalah orang asing untuk merampok ikan-ikan di negeri sendiri.

Sahabat Insan bersama dengan Peduli Buruh Migran berkesempatan membantu para ABK tersebut memberikan mereka tempat aman beserta makan selama mereka berusaha menuntut keadilan. Sahabat Insan mengunjungi 4 orang yang sedang berada di shelter pada Sabtu, 15 Maret 2014 yang lalu. Sebelumnya, telah ada lebih dari 10 orang singgah ke shelter Sahabat Insan, beberapa dari mereka kemudian pulang ke kampung halaman masing-masing terlebih dahulu. Mereka hendak menengok sanak keluarga yang telah bertahun-tahun tak mereka jumpai. Lalu, beberapa lagi datang ke shelter.

Ketika berkumpul bersama mereka, usai mereka makan siang, Sahabat Insan sempat mendengarkan cerita-cerita mereka. Mereka sempat mengutarakan kekecewaan mereka terhadap pemerintah Indonesia khususnya KBRI di Afrika Selatan yang tidak cepat tanggap dalam memproses kasus mereka.Bahkan, mereka, yang jelas-jelas adalah korban, sempat berada di penjara, sebelum akhirnya mereka dapat menghirup udara bebas dan kembali ke Tanah Air. Mereka pulang dengan lankah berat karena gaji mereka belum sepeser-pun dibayar.

Kini, mereka tengah berjuang menuntut hak mereka. Masing-masing ABK telah bekerja dalam jangka waktu yang berbeda-beda. Dan seperti yang telah disebutkan di atas, mereka pun diperalat untuk mencuri ikan di laut sendiri. Hasil laut mereka bukan untuk Indonesia, melainkan diolah kemudian dijual negara lain.

Awalnya, para ABK tersebut ditawari pekerjaan oleh agen yang ada di Indonesia untuk dipekerjakan di perairan Malaysia, namun kenyataanya berbeda. Kapal-kapal, tempat mereka bekerja adalah milik orang Taiwan yang bekerja sama dengan orang Malaysia. Ketika mereka berangkat, ternyata mereka dipekerjakan di Samudra  Pasifik. Ada 12 kapal yang membawa mereka, dan mereka bekerja hampir 20 jam dibawah tekanan pemilik kapal. Bahkan harus sering menganti bendera di kapal setiap akan bersandar untuk menurunkan muatan.

Para ABK ini sering mendapatkan perlakuan tidak manusiawi dari pahak agency. Mereka sering diancam, bahkan ditendang ketika lelah, terapung di laut tanpa dapat berjumpa dengan siapa pun. Sementara si pemilik kapal hanya satu bulan sekali datang. Itu pun hanya untuk mendrop makanan dengan kapal besar, serta mengambil hasil tangkapan mereka.

Pada bulan Desember lalu, para ABK ini diajak bersandar di Cape Town. Pihak kepolisian curiga dengan ABK karena tidak boleh keluar dari kapal. Polisi menggeledah dan menemukan 74 ABK dalam kondisi memprihatinkan. Akhirnya, 74 ABK ini ditangkap dan dibawa ke tahanan imigrasi di Cape Town. Para ABK sempat menghubungi perwakilan (KBRI) yang ada di sana, namun tidak terlalu diperhatikan.

Masih beruntung, ada salah satu LSG lokal yang membantu mereka untuk bisa mendapatkan bantuan pulang ke Indonesia. Setelah dua bulan menghuni penjara Imigrasi, para ABK ini dipulangkan ke Indonesia dengan menyewa pesawat dari Afrika Selatan ke Indonesia yang dibiayai oleh pemerintah Afrika Selatan. Pada tanggal 9 Februari 2014, mereka sampai di Halim Perdana Kusuma. Agency ikut menjemput mereka dengan janji gaji mereka akan dipenuhi semua, ternyata itu hanya janji palsu. Sampai saat ini, mereka belum mendapatkan haknya sama sekali.

Kini, ketika berita ini dimuat, di shelter Sahabat Insan telah bertambah lagi ABK, sehingga jumlah mereka 12 orang. Mereka singgah di shelter Sahabat Insan untuk proses mediasi dengan BNP2TKI dan pihak agency. Permintaan mereka hanya satu: supaya mereka mendapatkan hak-hak mereka selama bekerja.


15 Maret 2014

19 Maret 2014

Sumber lainnya terkait berita ini dapat dibaca di:

Monday, March 17, 2014

Gambar-gambar Sendu

Wajah-wajah sendu, muram, sedih, menangis, dan terikat ditunjukkan perempuan itu kepada kami. Gambar-gambar wajah berbagai macam itu cukuplah untuk melukiskan kesedihan yang tengah dia alami.

Usai makan, perempuan itu menunjukkan kepada kami gambar-gambarnya di sebuah buku. Wajahnya terlihat gembira. Berulang kali ketika kami ajak bicara, dia mengajak kami untuk tos bersamanya. Dengan senang hati kami menuruti permintaannya. Tos itu kami lakukan berulang-ulang sesuai permintaannya. Merasa lucu, kami pun ikut tertawa.

Perkataannya masih tidak mampu kami tangkap dengan jernih. Bukan karena suaranya, melainkan karena bahasa yang kami tak mengerti. Sebagian terdengar seperti bahasa Indonesia, sebagian seperti bahasa Melayu, dan sebagian mungkin bahasa daerah. Kami hanya tahu kalau dia berasal dari Lombok dan sebelumnya bekerja di Malaysia. Dan ia belum lama berada di ruang jiwa itu.

Sahabat Insan kembali mengunjungi pasien-pasien mantan TKI yang berada di ruang jiwa sebuah rumah sakit di Jakarta pada Jumat, 15 Maret 2014 yang lalu. Ketika melihat gambar-gambar yang ditunjukkan Ina kepada kami, berbagai kejadian mulai membayangi kami. Kami mengira-ngira apa yang diperbuat majikannya kepada Ina. Ina bisa saja tertawa bersama kami dengan wajah gembiranya. Namun, gambar-gambar yang dia tunjukkan kepada kami cukup memberi tahu bagaimana sesungguhnya luka kesedihan, perih kehidupan yang telah dialaminya.

Lain lagi dengan Siti, perempuan berusia 27 tahun yang memakai baju warna merah jambu itu bercerita kepada kami. Dia sangat bosan berada di ruang jiwa tersebut. Dia mengatakan kalau dia ingin segera pulang. Dia merasa sudah dalam keadaan sehat. Bahkan ketika kembali ke Indonesia, sesampai di bandara, dia bingung kenapa ada petugas membawanya. Dia kira dia akan dipulangkan ke kampung halaman, namun ternyata mereka membawanya ke rumah sakit. Hanya karena terlihat bingung, dia lalu dianggap depresi dan bermasalah, sehingga perlu mendapat perawatan. Kisah Siti bukanlah yang pertama kali kami dengar.

Berbeda dengan perempuan berambut panjang, yang duduk di lantai dengan infus di tangannya. Dia bercerita kepada Suster Murph dengan begitu semangat, memakai bahasa Inggris. Perawat mengatakan dia punya sakit di paru-paru sehingga sempat muntah darah dan perlu di-infus. Dari ceritanya kepada Suster Murph, kami tahu bahwa ketika bekerja di Malaysia Siti  disiksa oleh majikannya. Lalu, ditangkap polisi Malaysia dan dimasukkan ke penjara. Sampai akhirnya dia sampai di KBRI dan berjumpa dengan ribuan TKI lainnya. Sesampai di bandara, dia dan kawannya dibawa ke ruang jiwa, rumah sakit tersebut.

Usai berkunjung, ada perasaan lega ketika melihat seorang pasien perempuan di sana dijemput oleh keluarganya. Dengan koper hitam yang sangat besar keluarganya membawa perempuan itu, keluar ruang jiwa. Di luar dia membuka koper itu dan sempat membuka baju-baju yang ada di dalamnya. Pertanyaan kembali terbersit dalam pikiran kami, jangan-jangan ada barangnya yang berharga hilang. Raut wajah perempuan itu pun terlihat tidak terlalu gembira karenanya.

Tetapi, paling tidak, kalaupun ada barang yang hilang, dia sudah berjumpa dan akan berkumpul dengan keluarganya. Dan bukankah perjumpaan dengan keluarga merupakan harta berharga?

Tuesday, March 11, 2014

Kunjungan Fish (IDWN) ke Sahabat Insan

Sore ini, seorang rekan berkunjung ke Sahabat Insan. Dia adalah Fish, perempuan muda yang berasal dari Hongkong. Fish adalah koordinator di Asia pada organisasi International Domestic Workers Federation (IDWN). Kini, dia tinggal di Indonesia, bekerja dengan kawan-kawan Indonesia, dan sedang belajar bahasa Indonesia.

Selama hampir satu setengah jam Romo Ismartono dan Fish saling berbagi kisah pengalaman berjumpa dengan para buruh migran. Fish mengutarakan perasaannya, dia sempat mengatakan bahwa pekerjaan ini tidak mudah, namun dia gembira dapat bekerja untuk persoalan kemanusiaan ini.

Setelah Fish melihat blog Sahabat Insan dan sedikit membaca refleksi di sana. Fish menyampaikan bahwa dia pernah mengikuti ret-ret. Dan menurutnya, ret-ret itu berguna sampai sekarang untuk pekerjaan yang dijalaninya. Meskipun dia tidak beragama Kristen, Budha, Islam, atau yang lainnya, Fish mengatakan bahwa dirinya dan semua orang memerlukan spiritualitas. 

Romo Ismartono pun menanggapi pernyataannya, "Ya, inilah, human rights spirituality". Fish pun mengangguk setuju. Setelah itu, kami berfoto bersama, kemudian Fish berpamitan untuk pulang.

Terima kasih atas kunjungannya Fish. Perjumpaan dengan kawan-kawan yang bekerja di dalam lingkup kemanusian untuk mereka orang-orang terbuang, selalu merupakan perjumpaan manis yang menguatkan.

Fish (IDWN)
Kontak Fish:

IP Pui Yu (Fish)
Regional Coordinator Asia
International Domestic Workers Federation
Tlp: (852) 6126 0964
Email: fish.ip@idwn.info
Address: c/o AMRC, Flat 7, g/f, Block A, Fuk Keung Industrial Bldg.,
66-68 Tong Mi Road, Kowloon, Hong Kong

Kontak IDN:

Website: www.idwn.info
Email: idwn@idwn.info
Youtube: http://www.youtube.com/user/TheIDWN?hl=id&gl=ID

Thursday, March 6, 2014

Running in Style

oleh Benny Juliawan SJ


A new bug for running points toward a new politics of lifestyle


Running reflects new social and political trends Dyan Indriyani

On 27 October 2013 Jakarta held its first ever marathon. Around 10,000 runners, Indonesian and foreign, participated in six different categories, from full marathon to the maratoonz for kids. With a route that included the city’s famous landmarks such as the National Monument, the Cathedral, Istiqlal Mosque and Old Batavia, the event was a sporting highlight of the year, putting Jakarta on the world marathon map. At least, such is the wish of the popular Jakarta governor, Joko Widodo, or ‘Jokowi’, as he is usually known. He desires to bring Jakarta up on the same plane with other big cities in the world like New York, London, and Tokyo, whose annual marathons draw tens of thousands participants from all over the world. According to the Jakarta Tourism Agency head, the marathon saw a 15 per cent increase in hotel occupancy rates that weekend, making all hotels in Jalan Sudirman and Jalan Thamrin fully booked. With all these achievements, it is small wonder that the organisers have pledged to make this an annual event.
Kenyan Wiliam Chebor and Ethiopian Muly Seyfu, may have won the elite men and women categories respectively, but the marathon story was told by the thousands of amateurs who took to the street very early that morning. Running has become a big lifestyle sport in recent years in Indonesia, especially in big cities like Jakarta, Bandung, and Denpasar. In 2013 alone, 32 running events were registered for the greater Jakarta area, mostly over five and ten kilometre distances. They drew crowds of five to ten thousand participants each. In many cases, organisers had to close registration before the scheduled date to avoid oversubscription. This new craze for running might seem like an unlikely place to find politics, but sport is deeply poiltical in Indonesia.

Famous faces

Among the sweaty crowds taking part in some of these runs were household names in Indonesian entertainment, business, and even politics. A number of TV soap stars, singers, and talk show hosts confess to being converts to the sport. Sandiaga Uno, owner of Mandala airlines and Saratoga Capital, has gone as far as establishing a running club called IndoRunners whose membership is now over 2000. With youthful looks, the title of one of the richest men in Indonesia, and several world-famous marathons under his belt, he has become an effective campaigner for the sport.
Lately, a new poster boy of the sport has emerged from none less than the first family. President Susilo Bambang Yudhoyono’s eldest son, Agus Harimurti Yudhoyono, whom many see as his dad’s protégé, rushes to the running scene with pomp and circumstance. Pictures of him crossing the finish line at various running events alongside his running buddies in the Garuda Finishers club have invaded the airwaves and chatty social media sites.
But it’s not always easy for famous faces to hijack the sport for their own interests. Agus’s running, for example, went sour after an incident in the Adidas King of Road 17K event in Serpong, Tangerang on 29 September 2013. He and his entourage came almost four hours late to the venue, when the organisers were already gearing down. He asked them to stay put and wait for him while he ran the course to the finish well after other runners had cleared the scene, packed up and gone home. His photograph with a finisher’s medal hung from his neck soon went online on Twitter but before long Rico Jonah Iskak, one of the organisers, took to the same social media to tell his account of the event. Rico’s version soon went viral. But Agus had the last word. It turned out that he, an army major, had taken part in another running event, the Jakarta Military District Anniversary 10K, on that fateful morning. In fact he boasted on Twitter, ‘We did it! In the spirit of the armed forces sixty eighth anniversay, we succeeded in completing 10K in the National Monument and 17K in Bumi Serpong Damai.’

What’s all the fuss?

If you have been to Jakarta, all this enthusiasm about running might sound rather absurd. Only ten per cent of the city, less than 3000 hectares, is open green space, and fewer than 15 parks are fit for running, in a city of 10 million people. The legendary Jakarta traffic jams, not to mention air pollution, are enough to deter most runners from venturing onto paved roads. Air-conditioned shopping malls fare much better in the struggle for space and shopping is a favourite pastime here. So where does this all come from?
Perhaps history offers us a clue. Running competitions made headlines back in late 1980s to early 1990s and they were always organised by one person: Mohammad (Bob) Hasan. This timber tycoon was a close ally of Suharto and also the chairperson of the country’s amateur athletic federation (PASI). This is not so odd as it might seem: at that time the peak leadership positions in every official organisation were in the hands of Suharto’s people. With his deep pockets and Suharto’s blessings, Hasan organised running events in Denpasar, Borobudur and Jakarta. The stratospheric prizes on offer – some to the tune of US$500,000 - attracted elite runners to what they otherwise might have thought of as an odd place in the tropics.
The extravagance aside, these Suharto-era events in many ways were exercises in controlled mobilisation in public space. Public events that gathered thousands of people in the streets normally provoked a heavy-handed response by the military regime. Under the regime’s watchful eye, the street was a space of discipline and fear, where unlicensed activities were considered the manifestation of criminality. For example, thousands of workers of PT Gajah Tunggal and workers in Medan who took to the street in 1991 and 1994 respectively to demand wage rises were met with a swift and ruthless crackdown. While the success of the running events landed the timber tycoon at the helm of the Asian Athletics Association in 1991 and a prestigious seat in the International Olympic Committee in 1994, labour leaders were sent to jail for their role. Bob Hasan’s political ascendancy culminated with his appointment as Minister of Trade and Industry in the dying days of the New Order in 1998. After the regime collapsed, he was convicted of corruption and sentenced to six years in prison in 2000.

Democratisation of sport

The present running bug is different from the previous in two meaningful respects. Firstly, the bug is not controlled by one institution, let alone one person. Now we see the Bank Mandiri Run, the University of Indonesia Run, the Armed Forces Anniversay Run: in short, all manner of institutions are jumping on the running bandwagon. Secondly, running events take place in the urban street that has been turned into a stage of popular mobilisation since Suharto fell. For the past 15 years, the space of the street has been reconstituted as a legitimate locus of political activities. Popular demonstrations involving hundreds and even thousands of people take place almost every day, but the street is open not only for the overtly political. Hobby clubs and sporting events want to have a slice of the new public space as well.
The embodiment of this enthusiasm can be found each Sunday morning. Since 2007, Sunday mornings in Jalan Sudirman and Jalan Thamrin – the very commercial heart of Jakarta - have become a scene of joggers, cyclists, aerobics enthusiasts and marching groups, all jostling for space along the eight kilometre avenue. When it began, the car free day was only held once a month. Being popular with the masses, the city administration soon made it a weekly event.
At face value, running events do not seem political at all, but on closer inspection we find political jargon mixed in with all the sporting talk. Just look, for example, at taglines such as ‘Nike #HijackJakarta’ obviously referring to the demand for a more runner-friendly city, or the ‘Obama Run’, organised by the pioneering Jakarta Free Spirit club, with its route visiting Obama’s previous schools and homes.

A new politics of lifestyle

Running events, in short, seem to be riding the wave of a more assertive middle-class. Once student groups, trade unions and political parties succeeded in tearing down the political and legal barriers that had separated the masses from the street. Now the middle-classes take their turn. They are certainly not fighting for freedom of speech or the right to vote. But they are demanding their rights as citizens for better public services, welfare and, crucially, access to open space and public amenities.
Organised running events demand the closure of public roads for lack of parks and sports fields. People get together in running clubs which are not defined by religious or ethnic loyalties. Many embark on fundraising campaigns for various charities. All of these add to the fact that outdoor sports in an urban environment expose the body to, and therefore highlight, the many evils of contemporary Indonesia that harm ordinary citizens’ quality of life.
Together with the Bike-to-Work Movement, the Coalition of Pedestrians, the Nebengers Community (car sharing) and other similar initiatives, runners have introduced a new kind of politics. It is politics based on lifestyle choices. Some individuals might catch the running bug and add voice to their citizenship claims. Some others ride the wave for self-promotion. In whichever guise, they are running for a cause, in style.

Benny Juliawan (orwellsj@googlemail.com) is a researcher with Sahabat Insan, an NGO working with migrant workers in Jakarta. Benny is an enthusiastic runner.



Tuesday, March 4, 2014

Waktu bagi Pekerja Migran

http://www.deviantart.com/art/Time-Imprisonment-170502363
Seorang mantan TKI di ruang jiwa itu, tiba-tiba bertanya, “Sekarang tanggal berapa ya Mbak?”

”Tanggal 28 Februari Bu.”

Lalu, dia bangkit dari tempat duduknya dan segera mengambil kalender yang tergantung tak jauh dari tempat kami duduk berkumpul. Seluruh isi ruangan tertawa melihatnya, sebab kalender itu terbuka di bulan Mei 2014. 

Ternyata, tentang tanggal berapa hari itu, mereka tidak tahu. Mereka baru benar-benar tahu ketika kami memberi tahu mereka. Mungkin, selama mereka bekerja, atau saat berada di ruang jiwa, waktu bergulir lewat begitu saja tanpa mereka sadari betul. Bukan berarti tak berharga. Hanya saja, mereka tak punya pilihan lain sampai mereka tak menghiraukan tanggalan. Sampai seorang pasien di sana menanyakannya.

Hanya dari hal sepele tersebut, kami tahu bahwa para perawat di sana tak seberapa memperhatikan mereka. Hal itu terbukti ketika perawat di ruang jiwa, yang menampung mantan-mantan TKI yang dideteksi mengalami depresi, mendatangi kami. Suster Ana, dia bercerita bahwa perawat-perawat di ruang jiwa tersebut baru. Maka, mereka tak tahu harus ”meminta” pada siapa berbagai macam keperluan pasien-pasien di sana. Dia pun mengungkapkan kepada kami, bahwa sudah berhari-hari pasien-pasien di sana tidak punya sabun, shampo, untuk membersihkan badan, juga deterjen untuk mencuci pakaian.

Miris memang, saat mendengar hal tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan akan sabun, shampo, deterjen, mereka menggunakan uang pribadi yang tersisa. Dan mereka tak sungkan berbagi milik mereka kepada kawan lainnya yang senasib.

Seorang mantan TKI yang Sahabat Insan kunjungi pada Jumat yang lalu itu, menarik perhatian kami. Berbeda dengan teman-teman mantan TKI yang lainnya. Dari caranya melihat dengan tatapan mata yang kosong,  caranya berjalan perlahan, dan kalimat-kalimat pendek yang dia ucap, kami tahu bahwa depresi yang dialaminya teramat berat. Kendati demikian, ketika ditanya nama dan pernah kerja di mana dia mau memberi kami jawab.

Kami yakin, usianya masih belia, mungkin dua puluhan. Perempuan muda itu tampak cantik dengan kulit putih dan rambut panjang yang terurai berantakan. Kata temannya, dia berasal dari Pontianak. Dia sebelumnya bekerja di Malaysia, entah untuk waktu berapa lama. Kami belum bisa menanyakan lebih banyak lagi tentang pengalamannya bekerja di negara tetangga itu. Kawan yang bersamanya sempat bercerita kalau mereka bertemu di KBRI Malaysia, sebelum akhirnya dipulangkan ke Indonesia. Kemudian, bersama-sama masuk ke ruang jiwa tersebut. Dengan begitu baik, kawan seperjalanannya itu mengatakan kepada kami bahwa dia ingin menjaganya sampai benar-benar sembuh.

Begitu banyak cerita di ruang jiwa kecil tersebut. Pasien-pasien mantan TKI di sana, ketika kami kunjungi tampak gembira melihat kami membawakan roti untuk mereka. Satu per satu roti itu kami bagikan kepada mereka. Mereka menyambut dengan sukacita. Sambil mengobrol, mereka memakan roti tersebut. Seorang mantan TKI yang kami jumpai minggu lalu, bernama Ipi, tidak tampak. Kata kawan-kawannya, dia telah pulang.

Minggu sebelumnya, Ipi sempat meminta tolong kepada kami untuk menghubungi teman lelakinya. Dia ingat nomor HP temannya tersebut, kemudian dia memberikan kepada Romo Benny untuk dihubungi. Sayang tidak ada jawaban ketika kami mencoba menghubunginya. Kendati demikian, kami bersyukur mendengar kabar bahwa Ipi telah dipulangkan.

Tidak ada yang tahu apa yang kemudian mereka lakukan setelah kembali pulang ke kampung halaman. Pernah kami dengar dari perawat di sana, ada yang sampai dua kali kembali ke ruang jiwa tersebut. Ya, bisa saja. Bisa jadi keinginan mereka bekerja ke luar negeri masih membumbung tinggi, tak lama sampai rumah, mereka kemudian pergi lagi.