Friday, September 26, 2014

Menjenguk 118 Calon TKI di RPTC

Sebanyak 118 perempuan ditampung di Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC) milik pemerintah. Mereka semua berasal dari Timur Indonesia, ada yang dari Flores dan ada juga yang berasal dari NTT. Sahabat Insan mengunjungi mereka untuk kedua kalinya, Jumat, 19 September yang lalu.


Kami membawakan kue-kue untuk mereka. Bersama dengan empat suster, kami berusaha berbagi kegembiraan. Mereka menyambut kami dengan penuh sukacita. Suster Lauren yang telah sampai terlebih dahulu memperkenalkan kami satu per satu. Selesai berkenalan, mereka dibagi menjadi lima kelompok dan masing-masing dari kami masuk ke kelompok tersebut yang dibagi sesuai dengan asal mereka.

Di dalam kelompok, mereka berbagi cerita bagaimana mereka bisa sampai ke RPTC. Ketika kami tanya berapa usia mereka, kami sangat terkejut karena masih banyak yang berusia anak-anak. Bahkan, ketika berkenalan, ada seorang anak yang masih berusia 15 tahun.

Seperti buruh migran yang lainnya, mereka pergi hendak bekerja ke luar negeri karena membutuhkan biaya untuk kehidupan keluarga. Mereka bisa saja bertani atau berjualan di pasar, tetapi, hasilnya tak seberapa. Tidak cukup untuk membiayai anak-anak sekolah. 

Tetangga-tetangga banyak yang berhasil mengubah hidup mereka dengan bekerja sebagai TKI. Peningkatan kehidupan mereka terlihat dari rumah yang direnovasi, anak-anak yang dapat disekolahkan ke luar pulau, dan keluarga yang dapat membeli tanah dan hewan ternak dalam jumlah yang banyak. Melihat keberhasilan tetangga-tetangga maka mereka pun ingin seperti itu.


Mereka direkrut oleh calo atau sponsor yang ada disekitar rumah mereka. Lalu, mereka dibawa ke Jakarta, tepatnya di bilangan Tangerang. Sempat mereka dijanjikan akan diberi uang sebesar 2 juta untuk keluarga di kampung halaman yang ditinggalkan. Namun, kenyataannya hal itu hanya isapan jempol belaka. 

Berbulan-bulan mereka berada di Balai Latihan Kerja (BLK) di Tangerang. Tempatnya kecil dan sesungguhnya tak dapat menampung sampai total 300 orang. Anak-anak itu bercerita mereka harus antre berjam-jam untuk mandi dan makan. Makanan yang mereka dapatkan tak cukup membuat mereka kenyang. Tidur pun tak layak karena tempat tidurnya penuh dengan kutu sehingga mereka tidur di lantai. Mereka juga diharuskan mengepel, menyapu, membersihkan BLK setiap hari. Pelatihan yang seharusnya mereka dapatkan ternyata tidak sesuai dengan peraturan yang ada. Maka, pada suatu hari, BNP2TKI bersama para polisi menggeledah BLK tersebut dan membawa anak-anak Timur tersebut ke RPTC.

Selama berada di RPTC, mereka dapat makan, tidur juga pelatihan yang berguna bagi mereka kelak. Tak henti kami menasihatkan mereka supaya mereka berpikir berkali-kali sebelum memutuskan untuk bekerja sebagai TKI. Kami katakan, tak semua bernasib baik, ada juga yang bernasib malang, sampai tak dapat kembali ke kampung halaman. Selain itu, juga kami sampaikan kepada mereka yang masih ingin bekerja untuk memiliki dokumen yang lengkap dan tidak boleh ada yang dipalsukan.

Ketika kami tanya perihal rencana hidup mereka selanjutnya, ada yang mengatakan akan pulang dan bertani saja di kampung halaman. Ada juga yang mengatakan akan mencari pekerjaan di Jakarta saja. Ada juga yang akan mencari modal untuk berjualan. 

Menurut kabar berita, minggu ini mereka akan dipulangkan terlebih dahulu ke kampung halaman mereka masing-masing. Dan semoga kehidupan mereka selanjutnya, dapat lebih baik.



Tuesday, September 23, 2014

Bantuan Pengobatan Untuk Ani

Saat ini, Sahabat Insan sedang membantu pengobatan untuk Ani (bukan nama sebenarnya), seorang mantan pekerja migran asal Sukabumi yang menjadi korban pemerkosaan dan tindak kekerasan dari majikan.

Ani memulai perjalanannya sebagai pekerja migran pada tahun 2009. Ia direkrut melalui sebuah PPTKIS di Jakarta (yang sekarang sudah ditutup). Ia kemudian dipekerjakan di Arab Saudi pada tahun yang sama. Sejak mulai bekerja, ia hanya menerima gaji selama 10 bulan. Penghasilan yang ia terima pun seluruhnya dikirimkan ke Sukabumi untuk menghidupi anak semata wayangnya yang dititipkan kepada orang tuanya. Ia sudah bercerai dengan suaminya sejak tahun 2008.

Suatu hari saat sedang bekerja, anak majikannya memperkosanya sehingga ia mengalami trauma dan ketakutan. Hampir saja ia membunuh pria tersebut, namun niat tersebut dibatalkannya karena tahu konsekuensi yang harus ditanggung. Jika hal itu dilakukan, dia tidak bisa pulang lagi ke Indonesia. Hari-hari selanjutnya, Ani masih sering dipaksa untuk melayani anak majikannya dan peristiwa itu terjadi berulang-ulang. Karena tidak tahan, akhirnya pada tahun 2011 saat majikannya sedang keluar rumah, Ani melarikan diri ke sebuah supermarket dan ditolong oleh temannya sesama pekerja migran. Oleh temannya, ia dicarikan majikan baru.

Di majikan barunya, nasib Ani ternyata belum berubah. Di saat-saat awal, majikannya masih ramah dan memperlakukannya dengan baik. Namun lama-lama, majikannya berubah menjadi galak dan tidak memberinya makan, bahkan hanya boleh menyantap sisa makanan majikan. Gajinya masih diberikan walaupun dalam jumlah kecil. 

Karena pekerjaannya yang berat namun tidak mendapatkan asupan makanan yang cukup, tenaga Ani semakin hari semakin berkurang dan akhirnya tidak mampu mengerjakan tugas-tugasnya dengan baik. Melihat kenyataan itu, majikannya pun semakin sering marah dan memukul serta menampar mukanya hampir setiap hari. Akhirnya pada awal tahun 2013 Ani tidak dapat lagi bangun karena sekujur tubuhnya nyeri. Ia dibawa ke rumah sakit King Abdul Azis dan dirawat selama satu bulan. 

Setelah agak sembuh Ani dibawa pulang majikannya. Pasca dirawat, Ani masih saja diminta mengerjakan tugas-tugas berat tanpa diberi istirahat yang cukup dan tidak mendapatkan makan minum yang layak. Semakin hari badannya semakin kurus dan tinggal kulit yang membalut tulang saja. Karena dianggap tidak bisa lagi bekerja, majikannya memulangkannya tanpa memberikan gaji dengan alasan sudah habis terpakai untuk membayar biaya rumah sakit dan tiket pesawat untuk pulang ke Indonesia.

Sesampainya di Bandara Soekarno Hatta, ia langsung dibawa ke rumah sakit rujukan pemerintah. Hampir tiga bulan ia dirawat di situ dan setelah diijinkan pulang oleh dokter, pada tanggal 16 September 2014 ia diantar pulang ke kampung halamannya, Sukabumi. Di sana kenyataan pahit harus kembali diterimanya. Ayah ibunya telah meninggal dunia dan anaknya tidak diketahui keberadaannya. Yang tinggal di rumah tersebut hanyalah pamannya, yang menolak kehadirannya karena pulang dalam kondisi sakit dan tidak punya uang. Karena terkatung-katung tidak memiliki tempat tinggal, akhirnya ia ditampung di sebuah rumah singgah di daerah Pisangan untuk memulihkan kembali kondisinya dan dapat  melanjutkan hidupnya dengan lebih baik.

Thursday, September 11, 2014

Terapi untuk Ibu Anita

Sudah tiga minggu Ibu Anita Ernawati berada di Shelter Sahabat Insan. Keadaannya semakin pulih dari hari ke hari. Setiap Senin, dia diterapi oleh Pak Yanto yang biasa mengobati mantan buruh migran dan warga sekitar di shelter Sahabat Insan.

Ketika Jumat 6 September 2014 yang lalu, kami kembali berjumpa dengan Ibu yang telah berusia 40 tahun itu. Ibu Anita kembali menumpahkan segala isi pikiran dan perasaannya. Dengan penuh kesabaran, kami mendengarkannya. Rupa-rupanya Ibu Arnita masih berharap PT yang merekrutnya bertanggung jawab dengan membayarkan gaji selama ia bekerja di Saudi.

Ibu Anita bersama dengan Sr. Lauren, PI.

Ibu Anita, mantan buruh migran yang pernah bekerja di Saudi tersebut adalah perempuan yang tangguh. Dia bekerja selama empat bulan pada majikan yang pertama, tetapi gajinya tak sepeser pun dibayarkan. Kemudian, majikannya menjualnya kepada orang lain—majikan kedua. Majikan keduanya ini rupanya ayah dari majikannya yang pertama. Ibu Anita bekerja hingga kontraknya hampir selesai, yaitu 2 tahun. Lalu, karena rindu pada keluarga di kampung, ibu Anita pun meminta izin untuk pulang ke Indonesia.

Malang, sebelum dia sampai ke Tanah Air, Ibu Anita didorong oleh keponakan majikannya sampai jatuh terjerembab ke lantai dengan keadaan telentang. Kemudian dia segera dipulangkan ke Indonesia oleh majikannya dalam keadaan sakit parah. Sesampainya di Indonesia, Ibu Anita sempat dibantu oleh salah satu NGO, namun tak sampai tuntas. Dia pun pulang ke kampung halamannya di Cirebon dijemput oleh ibunya yang telah tua renta.

Pengobatan kemudian diusakan oleh keluarganya sendiri. Karena dia masih sulit berjalan dan seringkali demam tinggi karena sakit nyeri yang luar biasa di punggung dan tengkuknya maka Mbak Lili dari Peduli Buruh Migran berinisiatif untuk membantunya berobat sampai dia pulih. 

Ibu Anita mengatakan bahwa setelah tiga kali diterapi oleh Pak Yanto dia sudah jauh lebih baik. Jika dulu berjalan dengan tegak, menengok ke kanan atau kiri saja kesulitan, kini sudah tidak lagi. Nyeri pada tulang punggung dan tengkuk yang menerjang, berangsur-angsur hilang. 

Kini Bu Anita masih di Shelter Sahabat Insan. Sesekali dia membantu Mbak Lili di dapur. Dia masih memiliki harapan yang besar gajinya dibayar. Sampai kini, setidaknya, keadaan Ibu Anita sudah membaik. Kami pun ikut bergembira karenanya. Doa kami selanjutnya, semoga Ibu Anita sungguh dapat beraktivitas seperti semula dan hak-haknya yang direnggut, digantikan dengan berkat yang lain oleh Sang Pencipta.