Saturday, December 26, 2015

Rindu Keluarga, Rindu Beribadah.

Hari Jumat, tanggal 18 Desember 2015, Sahabat Insan mengunjungi RPTC Bambu Apus, untuk mengunjungi saudara-saudara TKI deportasi yang sedang ada di sana dan menyelenggarakan misa, sebelum mereka pulang ke kampung halamannya.

Sekitar sepuluh hari sebelumnya, 500 orang TKI asal Malaysia dipulangkan ke Indonesia  karena tidak memiliki dokumen. Mereka berasal dari berbagai daerah di Indonesia, seperti Batam, Lampung, Medan, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Flores. Pada saat pemulangan, mereka dinaikkan pesawat dari Kuala Lumpur ke Jakarta. Dari Jakarta, mereka kemudian dipulangkan ke daerah masing-masing melalui jalan darat, kecuali TKI yang berasal dari Flores yang akan dipulangkan dengan kapal laut. Oleh karena jadwal kedatangan kapal yang tidak menentu, mereka menunggu cukup lama di rumah singgah tersebut sampai mendapatkan tiket pulang. Jumlah TKI asal Flores yang dideportasi kali ini berjumlah sekitar 70 orang.

Hujan rintik-rintik menyambut Sahabat Insan yang tiba di rumah singgah tersebut pada pukul 11.00. Tim Sahabat Insan kali ini cukup banyak. Selain Romo Ismartono, SJ yang akan mempersembahkan misa, ikut juga Sr. Laurentina, PI dan Sr. Matilda, PI, Sr. Murphy RSCJ, Sr. Lucia RSCJ, Tanti, Rintan dan Saras. Setelah pintu gerbang dibuka, seorang ibu berwajah Arab yang sedang menggendong anaknya menyambut kami. Di belakangnya, berlarian ketiga anaknya yang lain sambil tertawa gembira. Keluarga tersebut ternyata adalah pencari suaka, yang sedang mengurus statusnya sebagai pengungsi di sini. Sang Ibu sendiri tinggal di rumah singgah,karena merasa tidak aman tinggal bersama suaminya yang terus melakukan kekerasan kepadanya karena stress menjalani proses panjang untuk mendapatkan status pengungsi. 

Saat Sahabat Insan tiba di ruangan tempat misa, telah menunggu di sana beberapa Suster RGS dan FMM, yang bergabung bersama Sahabat Insan mendampingi para TKI deportasi ini. Suster Anna, RGS juga telah menyiapkan beberapa lagu untuk dinyanyikan saat misa nanti. Romo Ismartono kemudian menyapa para TKI yang sudah berkumpul di sebuah ruangan, dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengaku dosa sebelum misa. 




Sementara menunggu rekan-rekannya yang sedang mengaku dosa, tim Sahabat Insan yang lain berbincang-bincang dengan para TKI tersebut. Berbagai macam kisah pun terucap. Ibu Aty, sebut saja begitu, bercerita bahwa dia sudah dua puluh tahun bekerja di Malaysia. Selama puluhan tahun itu, berbagai profesi sudah ia jalani. Ia berangkat ke negeri jiran pada tahun 1995 dan bekerja sebagai pekerja rumah tangga di sana selama dua tahun dengan dokumen lengkap. Setelah itu, dia memperbaharui dokumennya dan bekerja di restoran, yang dilanjutkan ke perkebunan. Namun selama sepuluh tahun terakhir, dia bekerja dengan status 'kosong' alias tidak memiliki dokumen, namun tetap berhasil mendapatkan pekerjaan di sana karena dia memiliki teman-teman yang banyak yang selalu menawarinya pekerjaan. Ibu itu juga menyebutkan bahwa karena Berkat Tuhan lah, selama sepuluh tahun terakhir ia selalu terlindungi dari petugas-petugas yang rajin mencari para pekerja tanpa dokumen. Namun akhirnya, ia tertangkap juga 2 bulan yang lalu, dan dimasukkan dalam penjara.

Lain lagi cerita Ibu Siti (bukan nama sebenarnya). Bersama suaminya, dia berangkat ke Malaysia delapan tahun yang lalu. Di sana, ia bekerja sebagai tukang bangunan. Ya, tukang bangunan. Sebuah pekerjaan yang agak aneh terdengar dikerjakan oleh seorang perempuan. Namun kenyataannya, di sana banyak perempuan yang bekerja sebagai tukang bangunan. Pekerjaan mereka tidak berbeda dengan tukang bangunan laki-laki: mengaduk semen, mengangkut batu bata, menngecat tembok dan seterusnya. Ibu itu bercerita, setelah ijin kerjanya habis, ia memutuskan untuk tidak lagi meneruskan pekerjaannya dan fokus mengurus anak semata wayangnya dan tidak mengurus perpanjangan dokumennya. Namun malang tak dapat ditolak. Ia pun tertangkap oleh polisi setempat dan mendekam di penjara selama sebulan karena tidak berdokumen,sebelum akhirnya dipulangkan ke Indonesia.




Dari cerita mereka, terungkap bahwa mereka sangat rindu beribadah, karena selama di perantauan, mereka dilarang untuk menjalankan kegiatan beragamanya, bahkan sekedar memiliki benda-benda rohani. Otomatis, sudah bertahun-tahun mereka tidak pernah pergi kebaktian atau ikut misa. Berdoa mereka lakukan sendiri-sendiri saat pekerjaan telah selesai dilakukan. Maka mereka sangat gembira saat diberi kesempatan untuk melakukan misa di rumah singgah ini sebelum mereka pulang ke kampung halaman, dan juga diberi kesempatan untuk mengaku dosa. Orang-orang dari Flores memang terkenal religius, sehingga sulitnya beribadah ini cukup menyiksa hati. Bahkan, pada saat misa berangsung, beberapa dari antara mereka, termasuk para lelaki, meneteskan air mata karena kerinduan yang sangat mendalam untuk bertemu Tuhan. Salah satu hal yang menyenangkan saat misa bersama orang-orang dari Indonesia Timur ini adalah, suara mereka yang sangat merdu saat bernyanyi, yang menambah suasana khusuk saat misa. Pada bagian akhir misa, Romo memberkati mereka satu per satu.


Setelah misa, Romo juga memberkati rosario yang dibawa oleh para Suster RGS, dan membagikannya kepada para TKI deportasi ini. Romo berpesan agar mereka rajin melakukan rosario selama perjalanan yang akan ditempuh selama lima hari, agar lancar dan sampai di rumah dengan selamat. Mereka sangat gembira, dan langsung mengalungkan rosario ini ke leher mereka. Tak lupa, kami juga berphoto bersama dan beramah tamah dengan mereka, serta mebagikan bingkisan natal yang sudah dipersiapkan. Kami juga memanggil mereka yang tidak ikut misa untuk ikut bersama-sama menerima bingkisan sebagai bekal mereka selama di perjalanan pulang ke kampung halaman. 

Selamat jalan teman-teman. Semoga selamat sampai tujuan dan berkumpul kembali bersama keluarga tercinta, dan merayakan Natal tahun ini dengan gembira. 











Sunday, December 6, 2015

Menaker RI: Pekerja Migran Harus Memiliki Ketrampilan dan Kapasitas Pertahanan Diri Yang Memadai

Di tengah guyuran hujan deras dan petir, Jambore Buruh Migran yang sudah berlangsung selama tiga hari tersebut ditutup oleh Menteri Tenaga Kerja RI, Bapak Hanif Dhakiri.

Prosesi penutupan dilakukan setelah Plenary terakhir, yang bertema "Migrasi dan Buruh Migran: Penguatan Institusional dan Manifest Keberpihakan Pendidikan Tinggi" selesai dilaksanakan, dan panitia melakukan konferensi pers. Sambil menunggu kedatangan Bapak Menaker, dilakukan pemutaran video oleh Jamison Liang, Senior Southeast Asia Campaigner dari Walk Free, sebuah LSM anti perbudakan yang beberapa waktu terakhir ini sedang bekerja sama dengan Migrant Care berkampanye tentang hak asasi untuk pekerja rumah tangga, dengan membuat beberapa video untuk menyampaikan pesan kepada publik dan majikan, bahwa mereka harus menghargai pekerja rumah tangga di seluruh Indonesia. 


Selanjutnya, tari Jaran Goyang persembahan keluarga buruh migran asal Banyuwangi mengiringi kedatangan Bapak Menaker beserta rombongan. Setelah sambutan dari Anis Hidayah selaku direktur Migrant Care yang melaporkan hasil pelaksanaan Jambore Buruh Migran ini dan juga sambutan dari Rektor UNEJ, di hadapan Bapak Menaker dibacakan Manifesto Tegalboto: Kedaulatan Bangsa Untuk Kedaulatan Buruh Migran, yang dibacakan oleh para buruh migran purna asal Wonosobo, Kebumen, Cilacap, Banyuwangi, Lembata, Lombok Tengah dan Jember, yang pernah bekerja di Taiwan, Arab Saudi dan Malaysia. 


Poin-poin yang terkandung dalam manifesto tersebut adalah: 

  1. Bahwa negara selama ini masih memandang sebelah mata para buruh migran, terutama buruh migran wanita, seolah-olah mereka tidak memiliki kedaulatan sebagai manusia, sebagai warga negara, sebagai perempuan dan sebagai pekerja. 
  2. Situasi ini menjadi latar belakang diselenggarakannya jambore ini, yang tidak hanya menjadi tempat berkumpulnya para pegiat buruh migran, namun juga melaksanakan dialog-dialog untuk merumuskan road map perlindungan buruh migran yang berbasis pada penegakan hak asasi manusia dan keadilan gender. 
  3. Road map tersebut dimulai dengan mereformasi kebijakan-kebijakan disriminatif, bias gender dan tidak melindungi buruh migran, dengan menuntut kehadiran negara secara maksimal, dan menghilangkan peran eksploitatif sektor swasta. Dalam skema migrasi saat ini, kehadiran negara bisa dimulai dari ujung tombak pemerintahan, yaitu desa.
  4. Komitmen-komitmen global dan nasional yang telah diakui oleh negara harusnya tidak hanya menjadi dokumen di atas kertas, namun juga menjadi panduan kebijakan. Kebijakan yang disusun harus juga berbasis pada kerentanan yang dialami oleh buruh migran, seperti kekerasan berbasis gender, praktik migrasi berbiaya tinggi, yang berpotensi terjadinya perdagangan manusia.
  5. Kekerasan kepada BMI juga harus dicegah dengan membangun sistem pendidikan dan juga membangun early warning system berbasis teknologi. 
  6. Keterlibatan perguruan tinggi dan akademisi mutlak diperlukan, dengan berkontribusi melalui pendidikan, penelitian dan pengabdiaan masyarakat, dengan cara memberikan materi tentang migrasi tenaga kerja di disiplin ilmu terkait, pembangunan pusat studi migrasi atau migration center, dan program pelayanan dan pengabdian masyarakat di daerah basis buruh migran.



Menanggapi usulan-usulan tersebut, Menaker menyampaikan pandangan dari Pemerintah mengenai isu buruh migran:



  1. Migrasi didorong oleh dua faktor besar, yaitu faktor pendorong dari dalam negeri (keterbatasan lapangan kerja, tingkat pendidikan, dll) dan faktor penarik dari luar negeri (ketersediaan lapangan kerja, gaji lebih baik dll). Kedua faktor ini senantiasa mempengaruhi keputusan untuk bermigrasi, yang merupakan hak asasi warga negara.
  2. Pemerintah sendiri berharap dapat memperbaiki keadaan dalam negeri, tetapi tantangan yang dihadapi oleh sebuah negara bukanlah hal yang mudah untuk segera diselesaikan. 
  3. Migrasi haruslah berbasis pada hak asasi manusia, bukan pada remitansi, atau upaya meningkatkan devisa negara. Kewajiban negara adalah hadir untuk memastikan bahwa proses migrasi harus berlangsung baik dan aman.
  4. Human resources development system di Indonesia, hari ini posturnya masih memprihatinkan. Dari total 114juta pekerja di Indonesia, 90% nya adalah lulusan SMA ke bawah, tepatnya 50% lulusan SMA dan 40% nya lulusan SMP ke bawah. Kenyataan ini membuat SDM harus didorong untuk berkembang, karena di jaman yang tanpa batas ini, etika bekerja yang dipakai hanya satu, yaitu daya saing.
  5. Negara hadir, bukan berarti semua harus diurus negara, karena dalam internal negara sendiri ada oknum-oknum yang bekerja tidak benar, artinya negara sendiri juga harus berbenah, karena negara tidak sempurna. Dalam proses ini, kerjasama antar berbagai pihak menjadi sangat penting. Dalam dunia yang serba terintegrasi ini, tidak bisa hanya satu pihak yang mendominasi, namun semuanya harus terlibat, walau pun kontribusi negara tetap harus lebih besar. 
  6. Bentuk kehadiran negara, misalnya dalam bentuk ketersediaan informasi, sehingga calon-calon tenaga kerja tidak mudah tertipu oleh bujukan para calo. Juga dalam tata kelola, negara harus memastikan adanya tata kelola yang lebih sederhana, murah, cepat dan aman, sehingga BMI akan lebih suka memakai jalur resmi. Bentuk kehadiran negara yang lain adalah, memastikan adanya standar yang bisa dipertanggungjawabkan terhadap lembaga-lembaga yang terlibat. Seperti yang tadi disebutkan bahwa BMI menginginkan penghapusan peran swasta, itu bisa didiskusikan lebih lanjut, karena sebenarnya hal itu bisa diatasi dengan membuat sistem sehingga mereka yang tidak memberikan pelayanan yang baik kepada TKI tidak akan dipilih, dan akhirnya terseleksi mana pihak-pihak yang benar-benar berkualitas.
  7. Negara juga harus melakukan pengawasan yang keras dan konsisten, melakukan penegakan hukum yang sama kepada semua pihak, apakah itu aparatur negara, para penegak hukum, bahkan juga kepada TKI jika memang ada yang bersalah. 
  8. Negara juga harus hadir dalam masalah advokasi. Juga saat TKI tersebut pulang, ada pembinaan yang dilakukan kepada TKI purna sehingga tidak terjadi kasus misalnya 98% penghasilan di negeri orang dipakai untuk keperluan konsumtif, sehingga taraf hidup tetap tidak meningkat. Kredit usaha rakyat juga disediakan untuk mereka yang ingin mengembangkan usaha saat pulang. 
  9. Negara juga hadir untuk memastikan bahwa buruh tidak terjerat hutang. Potongan yang boleh dikenakan kepada buruh hanya 2 jenis: untuk jaminan sosial dan serikat pekerja. 
  10. Mengenai undang-undang, yang dilihat tidak bisa hanya yang berlaku di Indonesia, namun juga negara tujuan. It takes two to tango, sehingga sangat tidak tepat jika membuat kebijakan migrasi yang bersifat one for all, berlaku untuk semua negara. Misalnya tentang direct hiring, yang legal di Singapura, namun saat masuk KBRI menjadi illegal, sehingga pekerjanya merasa diterima di negeri orang tapi ditolak di negeri sendiri, padahal sebenarnya karena peraturannya berbeda. 
  11. Momen Jambore ini bisa dimanfaatkan untuk berpartisipasi secara aktif untuk merevisi undang-undang sesuai dengan kebutuhan pekerja. Pemerintah sangat terbuka menerima semua masukan dari berbagai pihak. 
  12. Pemerintah juga berharap para pekerja Indonesia memiliki self defence capacity yang kuat agar pekerja dapat mandiri di negeri orang. Selama ini para pekerja terbiasa mengurus segala hal melalui calo, sehingga semua tau beres. Contoh nyata manfaat kemandirian pekerja, para pekerja Filipina tidak ada yang mengalami gaji yang tidak dibayar bertahun-tahun, karena SDC nya kuat, sehingga saat sebulan saja tidak digaji, mereka langsung melawan. 
  13. Negara mensyaratkan bahwa untuk bermigrasi, selain memiliki kapasitas pertahanan diri yang memadai, juga perlu ketrampilan. Selama ini, kedua hal tersebut tidak pernah dipertimbangkan, sehingga saat pekerja sampai di negeri orang, banyak yang menemui masalah. Kita semua berkepentingan untuk meningkatkan kapasitas perlindungan diri, sehingga para pekerja memiliki pemahaman, kesadaran, dan mental yang jauh lebih baik.
  14. Negara tetap harus hadir dengan berbagai cara untuk perlindungan optimal, namun jika TKI nya kuat,maka penyelesaian di lapangan akan menjadi lebih mudah dan negara tidak menciptakan kemanjaan-kemanjaan yang tidak perlu.  
Mengakhiri sambutannya, Bapak Menteri kemudian menutup secara resmi penyelenggaraan Jambore Nasional Buruh Migra 2015 di Jember. Dalam kesempatan tersebut, beliau juga meresmikan Desa Peduli Buruh Migran Indonesia (Desbumi) di Balai Desa Sumbersalak, Ledokombo, Jember. Desbumi Sumbersalak merupakan desa ke-18 di Indonesia yang memiliki program sistem informasi dan pendataan warga yang menjadi buruh migran, mulai dari keberangkatan, penempatan sampai pemberdayaan purnaTKI.