Monday, October 16, 2017

Tujuh Bulan Berkarya di Perkumpulan Sahabat Insan

Catatan Marsiana Inggita D.A - relawan Sahabat Insan
Perasaan galau dan resah ketika mengetahui bahwa kantor tempat aku bekerja akan gulung tikar. Atasanku berkata bahwa beliau tidak dapat lagi meng-handle perusahaan jasa konsultan arsitek dan beliau tidak tahu lagi mau dibawa ke arah mana perusahaan tersebut. Dengan sangat terpaksa, aku pun harus mengajukan pengunduran diri lantaran perusahaan sudah tidak akan beroperasi lagi per 2 – 4 bulan lagi. Bingung dan sempat memikirkan nasibku kedepannya. Bahkan aku sempat berpikir bagaimana aku bisa menabung untuk masa depanku? Tapi aku berusaha untuk lepas bebas dan percaya bahwa akan ada yang lebih baik datang kepadaku tanpa harus khawatir. Percaya bahwa Tuhan pasti memelihara aku selama aku mencari pekerjaan lain dengan diimbangi perasaan bersyukur.
IMG20170929171533

Piagam penghargaan dari Sahabat Insan
Setelah mengajukan resign, aku bertemu salah satu temanku, yang sedang mencari pekerjaan juga. Dia menceritakan bahwa dirinya direkrut oleh salah seorang Romo kenalan kami berdua untuk menjadi relawati di Perkumpulan Sahabat Insan. Nama Romo kami adalah Romo Ignatius Ismartono, SJ. Romo Is begitu panggilannya, mengajak kami berdua untuk membantu beliau menjadi para relawati beliau di yayasan tempat beliau berkarya. Beliau mengetahui bahwa kami berdua adalah orang-orang yang berjuang mencari pekerjaan tetap lalu mengajak kami untuk aktif terlebih dahulu sebagai relawati di Sahabat Insan sehingga kami benar-benar mempunyai suatu kegiatan produktif sembari mencari pekerjaan. Istilahnya seperti “gak nganggur bangetlah” hehehee… . Romo juga mengatakan bahwa selama kami menjadi relawati, kami akan tetap mendapatkan uang kehadiran.

IMG20170929111208
Ruangan Sahabat Insan

Sejak saat itulah aku mengenal Perkumpulan Sahabat Insan. Aku sendiri bingung sebetulnya Sahabat Insan ini sendiri bergerak di bidang apa. Tetapi ketika Romo Is menjelaskan, ya aku menjadi sedikit tahu. Penanggung jawab dari Perkumpulan Sahabat Insan ini adalah Romo Is sendiri. Sahabat Insan merupakan sebuah komunitas para relawan dimana selanjutnya dikelola oleh Pelayanan Krisis dan Rekonsiliasi KWI untuk melanjutkan semangat memberi perhatian kepada mereka yang memerlukan pertolongan dalam mempertahankan hidupnya. Setelah PKR KWI ditutup oleh Presidium KWI pada tanggal 12 Agustus 2010 berdasarkan Surat Keputusan No 161/Pres/K/VIII/2010, Sahabat Insan tetap melanjutkan pekerjaannya secara mandiri sebagai komunitas relawan.
Banyak hal yang aku alami sebagai relawati di Sahabat Insan. Dari yang mulai membantu Romo dalam hal copywriter artikel, magang di Migrant Care hingga membantu Romo dalam hal pelaksanaan diskusi atau seminar. Oya, aku dan temanku pernah diutus Romo untuk magang di Migrant Care loh! Disana kami diajak berpartisipasi dalam hal penanganan masalah-masalah yang terjadi pada Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Seperti misalnya ada kasus mengenai perjanjian kerja antara agen A dengan negara Malaysia, nah kami diajak untuk mengikuti rapat di Kementrian Ketenagakerjaan agar kami tahu bagaimana cara kerja Migrant Care sendiri dalam menangani bentuk permasalah yang terjadi pada Tenaga Kerja Indonesia. Setelah itu kami diharuskan membuat jurnal perjalanan kerja kami di Migrant Care dan di posting ke web Sahabat Insan.

IMG20170929111226
Meja, tempatku berkarya selama di Sahabat Insan

Kami magang di Migrant Care hanya berjalan 3 bulan, selanjutnya kami mengabadikan diri untuk tetap membantu Romo di Sahabat Insan yang kantornya terletak di Sanggar Prathivi Building Lt. 2 Jl. Pasar Baru Selatan No. 23 Jakarta Pusat 10710. Kurang lebih sekitar 2 bulanan, temanku meninggalkanku karena beliau sudah diterima kerja di sebuah perusahaan. Mendadak aku galau lagi karena lama sekali aku belum juga dipanggil oleh perusahaan – perusahaan tempat aku melamar. Tapi dari kegalauan itu aku mempunyai keyakinan bahwa suatu saat aku akan mendapatkan kerja yang jauh lebih baik, penghasilan tetap dan percaya jika aku bersabar, Tuhan akan memberikan segala sesuatunya baik sesuai kehendakNya dan Tuhan masih memelihara aku walaupun penghasilanku tidak banyak.
Selain pernah magang di Migrant Care, aku pun pernah membantu Romo dalam menyiapkan segala hal yang berkaitan dengan diskusi / bedah buku maupun seminar yang Romo dan rekan-rekan relawan sering adakan. Biasanya diadakan setiap sebulan sekali. Senang sekali bisa ikut berpartisipasi dalam menyiapkan acara tersebut apalagi aku bisa mengenal banyak orang yang sebelumnya aku tidak tahu.

IMG20170929170016
Bersama Romo Ignatius Ismartono SJ, Penanggung Jawab Perkumpulan Sahabat Insan

Pada akhirnya, pekerjaan baru pun kunjung datang. Aku diterima di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang Property Management sebagai Administrative Assistant. Kurang  lebih tujuh bulan selama di Sahabat  Insan bagiku cukup berarti. Karena sebelum aku merasakan rutinitas, aku bisa merasakan pengalaman-pengalaman yang sungguh luar biasa yang pernah aku alami. Aku bersyukur Tuhan memelihara hidupku lewat pengalaman di Sahabat Insan dan rasa syukurku juga untuk dapat berkenalan dengan orang-orang hebat yang aku temui selama menjadi relawan di Sahabat Insan.
Terima kasih yang sebesar-besarnya untuk Romo Ignatius Ismartono SJ, Mbak Vincentia Hertanti Kistiorini, Pak Felix Aryunianto dan semua kerabat yang tak bisa kusebutkan satu persatu yang sudah banyak memberikan pelajaran dan pengalaman berharga selama aku berkarya di Sahabat Insan. Semoga kalian semua senantiasa diberikan kesehatan semangat dalam berkarya dan juga semoga Sahabat Insan dapat sukses kedepannya dan menjadi komunitas yang dapat menginspirasi banyak orang, khususnya kaum muda untuk lebih berani dalam melayani sesama sebagai relawan sejati.
Sampai bertemu di kesempatan selanjutnya ~ ðŸ˜€





Wednesday, October 11, 2017

Towards No End And Yet Still Beginning

The morning started differently. A tram and bus ride into town found me looking at newspapers lining a park bench, someone's bed for a drizzly night. An old person tried to speak Mandarin to me. Persons getting on the bus and saying, “I've no money,”or using whatever change they have, and being allowed onboard. A very tired, worn, homeless person looking for shelter, asking for a prayer. Another person looking longingly at a basketball game they would probably love to be playing. And it isn't even winter yet.

Going to a brief workshop organised by A Faith That Does Justice(http://www.faith-justice.org/)on the Spiritual Exercises of St Ignatius of Loyola,seemingly includeda God-sized welcoming party. Surprises surfaced, including getting lost, yetgetting to know other people of goodwill, of old souls and big love. Of speaking truth to power, and of speaking to be less lonely and build community - two unnecessarily different activities that morning.

If we look closely, we can see many people of goodwill. Yet we are not always good at being good to ourselves –how can we be good for others? By being as good as we can, and not as we cannot. Like the person who gave up salt, pepper and butter twenty years ago, and is working on giving up hard drinking (but loves milk a lot). Like the poor who may be bent by circumstances, but not their smiles. Unlike the rich who make money unjustly, burden the downtrodden unnecessarily, and refute with legal arguments that there was no crime. What unfolded then and later, with or without reflection or intervention, was still up to them.

It is human to think of survival. Being people of goodwillbecomes apparent when we reach out, and does not stop until we have stopped for good ourselves.Better still, remember that this journey is a journey of countless steps, but any start requires just one step, over and over again.

Take some time. Rest and reflect. A little reflection helps, because our intentions do not limit our horizons, an easy and frequent misunderstanding.  Try, for we can and should ask that of ourselves, and be generous with our failures and ourselves as others had been, and even then, always be ready to begin again.



Michael Phung, SJ 

Sunday, September 24, 2017

Kisah Suster Penjemput Jenazah



"Suster, mau menjemput jenazah ya?"

Sapaan itu selalu terdengar dari petugas kargo Bandara El Tari, Kupang Nusa Tenggara Timur saat Suster Laurentina, PI, salah satu relawan Sahabat Insan yang saat ini bertugas di Kupang, tiba di sana. Tampaknya petugas tersebut telah hafal karena seringkali suster datang ke tempat tersebut untuk menjemput jenazah TKI asal NTT yang dikirim dari Malaysia. Pemulangan jenazah memang menjadi salah satu pelayanan utama suster bersama Koalisi Peduli Migran NTT karena banyaknya jenazah yang dikirimkan ke daerah ini setiap tahunnya. Tahun ini saja, menurut catatan jaringan tersebut, sudah 94 jenazah yang telah dikirimkan dari Malaysia. Sedangkan menurut BP3TKI, sampai pertengahan bulan September 2017 ini, data jenazah yang mereka terima adalah 51. Perbedaan data yang cukup besar ini disebabkan karena berbagai macam alasan, menyangkut prosedur pemulangan jenazah.


Sebenarnya prosedur  pemulangan jenazah ke tanah air saat ini tidak serumit dulu. Pihak KBRI akan langsung memproses laporan yang masuk jika jenazah tersebut memiliki identitas jelas, nama sebenarnya (bukan nama samaran), surat keterangan dari desa yang menyatakan bahwa jenazah adalah warga desa tersebut, dan siapa yang akan menerima jenazah di kampung. Namun, kebanyakan buruh migran maupun keluarga tidak berani untuk melaporkan secara langsung, karena kurangnya informasi ditambah lagi kondisi mereka yang penuh dengan ketakutan karena pergi merantau secara non-prosedural. Beberapa keluarga korban yang sempat ditemui oleh suster mengatakan bahwa untuk memulangkan jenazah, mereka menggunakan biaya sendiri, bahkan terkadang harus dengan cara berhutang ke PT yang bersangkutan, kemudian keluarga tersebut bersama-sama mengumpulkan iuran untuk membayarnya. Ada juga jenazah yang biaya pemulangannya ditanggung oleh  PT, namun identitas jenazah tidak dituliskan dalam peti, dan hanya mencantumkan nama penerima jenasah saja karena PT yang bersangkutan tidak mau diketahui oleh pemerintah karena khawatir akan diusut jika terjadi masalah dalam kematian korban tersebut. Banyaknya kasus – kasus seperti inilah yang membuat adanya perbedaan antara data administratif dan data di lapangan. Namun demi kemanusiaan, baik jenazah yang berstatus tenaga kerja prosedural maupun non-prosedural tetap dilayani dengan hati yang tulus dan ikhlas oleh Koalisi Peduli Migran NTT dan BP3TKI.

Dalam melaksanakan karya pelayanannya di Kupang, Sr Laurentina, PI menghadapi tantangan dan perjuangan tersendiri. Hampir tiap minggu beliau selalu menerima kabar duka dan mendapatkan permintaan baik dari jaringan koalisi yang ada di NTT maupun dari BP3TKI untuk pergi ke bagian kargo Bandara El-Tari menjemput dan mengantar jenazah jam berapa pun mereka tiba. Untunglah letak bagian kargo Bandara El Tari tidak terlalu jauh dari biara tempat suster bertugas sehingga beliau bisa bertindak dengan sigap. Pernah pada suatu malam suster menerima pemberitahuan bahwa akan ada jenazah yang datang dengan jadwal kedatangan pukul 22.55 WITa sehingga beliau segera berangkat menuju bandara. Namun sampai di sana petugas kargo mengatakan bahwa pesawat mengalami keterlambatan dan baru akan mendarat pukul 00.00. Akhirnya suster pun pulang ke biara dan kembali lagi berangkat menuju bandara pada pukul 23.30 WITa. 


Setelah menerima jenazah dari bagian kargo, suster akan melihat identitas jenazah tersebut. Di provinsi NTT ini, seseorang bisa ditentukan asal sukunya dari nama marganya. Kalau KTP tak dipalsukan, maka keluarga gampang dicari. Bahkan agama jenazah tersebut bisa diidentifikasi berdasarkan nama kota tempat dia berasal. Misalnya jika jenazah berasal dari daerah Kupang, Soe, Rote dan Sumba maka besar kemungkinan ia beragama Kristen Protestan. Sedangkan jika jenazah berasal dari TTU, Belu, Malaka dan dataran Flores, maka kemungkinan besar jenazah beragama Katolik. Identifikasi agama ini digunakan untuk menentukan apakah suster akan menghubungi pastor atau pendeta untuk mendoakan jenazah tersebut. Jika beragama Katolik, maka doa akan dipimpin oleh seorang pastor dan dilakukan baik saat jenazah berada di kargo maupun saat disemayamkan di Rumah Sakit Umum Kupang. Jika jenazah beragama Kristen Protestan, maka pendeta dan teman-teman dari Sinode yang akan berdoa . Jika pastor atau pendeta tidak bisa dihubungi, maka suster akan berdoa sendiri.  




Bagian paling menyedihkan tentu saja mengabarkan dan menyerahkan jenazah kepada keluarga. Bagaimana tidak. Mereka berharap anggota keluarga mereka pergi merantau jauh ke negeri orang agar dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga besarnya, namun kenyataan yang harus diterima adalah ia harus pulang dalam keadaan tak bernyawa. Bagaikan jatuh tertimpa tangga, saat harapan untuk masa depan yang lebih baik pupus, dan harus kehilangan anggota keluarga. 




Entah sampai kapan suster akan terus menerima jenazah-jenazah tersebut. Persoalan yang penyelesaiannya bagaikan mengurai benang kusut ditambah lagi dengan budaya lokal yang sudah berjalan bertahun-tahun dan oknum-oknum yang memanfaatkan keadaan memang tidak mudah untuk diselesaikan dalam sekejap mata. Namun Sr. Laurentina, PI tentu tidak patah semangat untuk terus berkarya. Banyak usaha yang telah dilakukan untuk sedikit demi sedikit memperbaiki keadaan di sana. Selain menjemput jenazah, sehari-hari suster juga melakukan kunjungan dan sosialisasi trafiking ke berbagai daerah di NTT, serta mendampingi korban yang mengalami kekerasan baik fisik maupun psikis. Semoga segala upaya tersebut dapat menjadi jalan pembuka untuk kehidupan yang lebih baik bagi saudara-saudara kita di NTT.

Monday, July 10, 2017

Laporan Koalisi Insan Peduli Migran di Ende Dalam Pertemuan Koalisi Peduli Migrasi dan Perdagangan Orang NTT

Pada tanggal 8-10 Mei 2017, Sahabat Insan mengikuti Pertemuan Koalisi Peduli Migrasi dan Perdagangan Orang NTT yang diadakan di Wisma Unio Indonesia. Selain Sahabat Insan, pertemuan yang dilaksanakan di bawah koordinasi Romo Benny Juliawan, SJ yang bekerja untuk Karya Sosial Jesuit Asia Pasifik, dihadiri oleh Pater Fransiskus Funan SVD (ketua divisi hubungan antar lembaga di koalisi), RD Perno (pastor paroki di Ende dan Ketua Komisi Migran di Keuskupan Ende), Pak Deni (Kepala Desa Ranggatalo dan Ketua Koalisi di Ende), Cornelis Selan (baru selesai kuliah di Fakultas Teologi Kupang, tahun lalu bertemu dengan Romo Leo Mali, dan tahun 2016 bergabung di Solidaritas Peduli Kemanusiaan Perdagangan Orang di Kupang), Sr. Irene OSU (Divisi Peduli Migran - KAJ), Sr. Laurentina, PI dan Sr. Genoveva SSPS (IBSI-CWTC), Sr. Lia, RGS yang dalam kesempatan ini mewakili Sr. Lidwina di Maumere), serta  Fajar Santoadi dari Tenaganita



Pertemuan ini sendiri merupakan tindak lanjut dari pertemuan pertama yang diadakan pada tanggal 5 – 7 April 2016 di Wisma Guadalupe - Duren Sawit Jakarta. Pada saat itu , Counter Women Trafficking Commission Ikatan Biarawati Seluruh Indonesia (CWTC-IBSI), Suster-suster Gembala Baik, Sahabat Insan, Vivat Indonesia, JPIC PI, JPIC FMM, dan KPPMP-KWI telah mengawali sebuah pertemuan untuk membentuk koalisi peduli migrasi dan perdagangan orang NTT. Koalisi ini terbuka bagi siapapun yang bekerja di bidang migrasi serta anti perdagangan orang dan memiliki kepedulian kepada warga NTT. Koalisi ini dipandang penting untuk dibentuk karena NTT merupakan daerah asal buruh migran terbesar dan kerap menemui masalah dalam proses migrasi, mulai dari perdagangan orang, deportasi serta penganiayaan yang berujung pada deportasi, sakit parah bahkan kematian. Setelah setahun berjalan, para anggota koalisi kembali bertemu untuk melakukan evaluasi dan menyusun rencana ke depan agar dapat melayani dengan lebih baik. Pertemuan koalisi pada tahun 2016 sendiri menghasilkan renstra sebagai berikut: 
1. Advokasi,
2. Pelayanan Pastoral, agar hirarki paham dan peduli dengan nasib migran
3. Pemberdayaan ekonomi, agar BMI bijaksana memakai uang, dan terbentuk pusat wirausaha di desa asal BMI. 

Koalisi Insan Peduli Migran di Ende melalui Kepala Desa Bapak Deni mengungkapkan bahwa, di Ende, dengan 27 paroki dan 10 titik pelayanan, terdapat 19 ribu orang yang melakukan migrasi dan yang non-prosedural mencapai 90%. Tahun 2016 telah dibentuk 9 desa ramah migran dan 1 paroki ramah migran. Pihak gereja sendiri ada yang pro dan kontra dengan gerakan ini, karena menganggap ini adalah pekerjaan koalisi. Di masing-masing desa, ada satuan tugas (satgas) yang terdiri dari para TKI purna migran dan mantan calo yang sudah insaf. Para satgas ini dikukuhkan oleh Romo Vikep Ende. Ende merupakan kabupaten yang rawan migran. Selain merupakan daerah darurat TPPO, selama tahun 2017, mereka menerima 5 jenazah yang semuanya berasal dari paroki ramah migran. Koalisi sendiri saat ini  menjadi tempat pengaduan masyarakat dan rajin melakukan sosialisasi ke sekolah dan OMK. Kendala yang sering mereka hadapi adalah kesulitan untuk mendapatkan ambulance saat ada jenazah. Bahkan pernah suatu saat biaya ambulan ditanggung dengan cara patungan antara anggota koalisi. Dalam rangka Hari Migran Sedunia, pada tanggal 18 Desember 2016 lalu koalisi mengumpulkan 100 satgas untuk melihat perkembangannya. Di Ende, koalisi ini dianggap memiliki data yang valid dan sering diajak Disnakertrans untuk melakukan sosialisasi. Saat ini, sudah ada kerja sana antara kolaisi dan kepolisian serta pelabuhan, sehingga diharapkan penanganan kasus akan lebih cepat. Keuskupan Ende sendiri saat ini mengambil tema 'Perdagangan Orang', namun koalisi sendiri berada di luar struktur gereja. Pemberdayaan ekonomi sudah mulai membuat kegiatan pengolahan kolang kaling dan pembuatan pupuk. Ada 2 desa dampingan koalisi menjadi contoh untuk desmigratif.

Romo Frans Funan, SVD kemudian menambahkan pengalaman beliau saat mengunjungi perantau kelapa sawit asal NTT di Kalimantan pada tanggal 23 Desember 2016 - 2 Januari 2017. Persoalan utama yang dihadapi di sana adalah: (1) pendidikan untuk anak-anak dan generasi muda. PT membuat sekolah tetapi tidak membuat anak menjadi cerdas. Anak tidak naik kelas dan tidak bisa baca tulis. Anak-anak yang lahir di hutan kelapa sawit merasa asing di kampungnya. Saat ini, jumah anak di sana sekitar 2000 orang. (2) Karyawan. Nasib karyawannya pun juga tidak lebih baik. Dengan gaji 700-800ribu sebulan, mereka harus membeli beras dari PT dengan harga 600ribu sekarung. Ada beberapa karyawan yang menjadi tenaga tetap, namun ada juga buruh harian yang sulit naik menjadi karyawan tetap. Buruh harian rata-rata bekerja selama 3-9 tahun. Di sana, warga NTT dianggap sebagai perantau yang hanya bawa badan dan otaknya ditinggal di kampung. Saat sebuah PT dijual, ia memberikan seluruh asetnya kepada pembeli, termasuk karyawannya. (3) Pelayanan Rohani. Di sana ada sekolah tapi tidak ada guru agama Katolik. Ada kapela tapi untuk oukumene. Persoalan iman dan pelayanan Sakramen juga memprihatinkan. Semua tenaga kerja dari NTT berstatus illegal karena tidak membawa dokumen resmi.

Tentang Paroki Ramah Migran:

Koalisi diberi nama Insan Peduli Migran karena banyak orang yang terlibat dalam pelayanan tidak melulu dari gereja tetapi juga orang yang beda iman. Koalisi ini memiliki prinsip kemanusiaan sebagai yang utama, sehingga baik pekerja legal maupun illegal akan tetap diurus jika mereka menjadi korban. Tindakan ini bukan berarti mendukung pekerja illegal, namun sebagai bentuk rasa kemanusiaan yang sama untuk semua orang. Koalisi ini membuat jaringan dengn KKPPMP dan KWI.

Dalam pelaksanaannya, Paroki Ramah Migran sendiri mengambil konsep desa ramah migran: mendata nama, nomor telpon yang dihubungi, berapa lama di rantau, serta ada tidaknya pasangan. Paroki ini terbuka 24 jam untuk pengaduan. Setelah paroki menjadi paroki ramah migran, ada banyak laporan dari umat. Beberapa kasus yang sering diterima adalah pekerja migran yang tidak bisa pulang karena punya istri dan anak baru di tempat tujuan. Program yang sedang disusun saat ini adalah:
·         Pemberdayaan istri migran dan anak yang amat sangat diperlukan, karena ada perbedaan antara anak yang ditinggal bermigrasi dan anak yang didampingi oleh orangtuanya
·         Bekerjasama dengan KOMSOS untuk membuat film pendek tentang persoalan migrasi
·         Memiliki satgas yang terdiri atas satgas dari desa ramah migran
·         Pemberdayaan ekonomi dilakukan kerjasama dengan koalisi
·         Sudah melakukan sosialisasi bagi paroki
·         Kerjasama dgn RRI Ende untuk sosialisasi persoalan migrasi setiap bulan

Hasil evaluasi kinerja koalisi selama setahun dapat disimpulkan sebagai berikut:

Kelebihan:
·         Adanya pihak yang memperhatikan nasib buruh migran, terutama dari NTT
·         Jaringan sudah mulai terbentuk walaupun belum sempurna
·   Adanya sosialisasi-sosialisasi baik melalui radio, paroki serta OMK, untuk meningkatkan kesadaran adanya resiko bermigrasi ke tempat lain. 
·   Sudah memiliki akses dengan polisi dan media jika ada kasus-kasus migran sehingga mudah mencari solusi.

Kekurangan:
·       Belum adanya dukungan dari Pemerintah/Pemda dan gereja sendiri untuk melaksanakan gerakan ini 
·         Keterbatasan dana/prasarana yang digunakan untuk menunjang pelayanan
·         Belum semua iman, biarawan/wati merasa terpanggil untuk karya kemanusiaan
·         Keterlibatan masyarakat terhalang oleh praktek LSM/insentif uang
·         Jaringan menyusut
·         Adanya struktur yang kaku di gereja dan birokrat yang menghambat jalannya pelayanan
·         Kurangnya komunikasi
·         Pemasaran hasil kerja desa dampingan

·         Masih minimnya jaringan komunitas/organisasi di negara tujuan (Malaysia)

 


Monday, July 3, 2017

Pendampingan Sr Laurentina Untuk Pekerja Migran di NTT

Sejak awal April 2017, salah satu relawan Sahabat Insan, Sr. Laurentina, PI, diberi penugasan baru untuk memimpin sebuah wisma  di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), setelah beliau menyelesaikan pendidikannya di Kampus Widuri, Jakarta Timur. Penugasan ini menjadi sangat relevan dengan kegiatan Sr. Laurentina yang selama ini aktif memperjuangkan hak-hak buruh migran Indonesia (BMI), terutama yang berasal dari NTT. Seperti kita ketahui bersama, NTT merupakan salah satu daerah penyumbang BMI terbanyak di Indonesia, dan selama ini cukup banyak masalah yang terjadi di daerah tersebut. Diharapkan kehadiran Sr. Laurentina di sana dapat menjadi penghubung antara BMI dan pemerhati migran di NTT dengan para pemerhati migran di Jakarta sehingga penyelesaian masalah dapat dilakukan dengan lebih efektif.

Sampai hari ini, sudah beberapa kasus yang ditangani oleh Sr. Laurentina. Misalnya pada akhir bulan April 2017 Ibu Atik dari RPTC meminta bantuan untuk cari alamat korban yang bermasalah di Biboki Utara. Suster langsung bergerilya untuk mencari alamat tersebut dan menemukan keluarga yang dicari. Korban merupakan pekerja migran perempuan berusia 23 tahun.  Ia bekerja merawat lansia sejak 2 tahun yang lalu di Malaysia. Awalnya ia diberitahu bahwa pada tiga bulan pertama gajinya akan dipotong untuk biaya administrasi, namun kenyataannya sampai 9 bulan kemudian ia tetap tidak menerima gaji. Pada suatu hari, tiba-tiba ia dijemput agen dan tinggal di kantor agen selama kurang lebih satu minggu. Setelah itu, bukannya dikembalikan kepada majikan, ia malah dibawa ke kantor polisi Malaysia dan dipenjara selama 2 bulan. Keluar dari penjara, ia dikirim ke KBRI dan dideportasi ke Indonesia melalui RPTC. Dari RPTC, korban bersama rombongan yang terdiri dari 12 orang dipulangkan ke Kupang naik kapal laut. Sesampainya di Kupang, korban untuk sementara waktu akan tinggal di biara terlebih dahulu sebelum diserahkan ke keluarga angkatnya. Bapak dan ibu kandungnya sendiri sudah meninggal sejak ia berusia 4 tahun.

Pengalaman lainnya adalah saat Sr. Laurentina bergabung dengan Tim Koalisi Peduli NTT untuk mengantar - jemput jenasah pekerja migran yang dikirimkan dari Malaysia. Menurut data dari BP3TKI, ini adalah jenasah yg ke-33 yang dikirimkan ke NTT selama tahun 2017. Namun data dari tim koalisi sendiri menyebutkan ini adalah jenazah ke-44 yang diterima sepanjang tahun ini.




Koalisi Insan Peduli Migran sendiri merupakan sebuah perkumpulan yang dibentuk pada tahun 2016, untuk membantu para migran khususnya di NTT terutama dalam hal advokasi, pelayanan pastoral dan pemberdayaan ekonomi. Tim ini memiliki prosedur untuk penanganan jenazah. Saat menerima informasi dari BP3TKI bahwa ada jenazah yang dipulangkan, maka tim akan menghubungi keluarga untuk memberikan informasi tentang kematian anggota keluarga mereka dan melakukan persiapan yang perlu dilakukan. Sr. Laurentina sendiri pada tanggal 14 Juni 2017 ikut menjemput jenazah di bandara El-Tari Kupang yang tiba pada pukul 10.30 Wita, dan kemudian disemayamkan d RSU Kupang. Keesokan harinya pada pagi hari jenazah tersebut diantarkan kembali ke bandara, kemudian dilakukan doa bersama dan pada pukul 13.30 Wita jenazah tersebut diterbangkan ke tujuannya masing-masing, satu jenazah ke Maumere dan satu jenazah lagi ke Larantuka. Di tempat tujuan, mereka akan dijemput oleh keluarga masing-masing untuk dimakamkan.

 Pada awal Juni 2017, Sr. Laurentina juga ikut mendampingi seorang pekerja migran yang dipulangkan dari Malaysia dalam keadaan sakit. Menurut yang bersangkutan, YP (24 tahun) direkrut pada bulan Juli 2014 dan dijanjikan untuk bekerja di kota Kupang. Namun ternyata dalam perjalanannya, ia dibawa untuk bekerja di Malaysia, dan selama 3 tahun bekerja di sana ia mengalami penyiksaan oleh majikan, tidak menerima gaji, dan makan hanya 1x sehari sehingga ia mengalami kekurangan gizi dan kondisi fisik menurun drastis. Saat dikunjungi oleh Sr. Laurentina, kondisinya sudah sangat lemah karena terserang TBC sehingga harus menjalani perawatan secara intensif di rumah sakit setempat.

Semoga dengan penugasan Sr. Laurentina di Nusa Tenggara Timur, dapat semakin memperhatikan dan membantu nasib pekerja migran di sana, karena masih banyak sekali pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dan diperjuangkan. Selamat bertugas Suster..

Monday, June 12, 2017

Peluncuran Buku "Miqat Kebinekaan"

Pada hari Jumat, 9 Juni 2017 pukul 15.00 WIB di Gedung PBNU diadakan peluncuran buku "Miqat Kebinekaan: Sebuah Renungan Meramu Pancasila, Nasionalisme, dan NU sebagai Titik Pijak Perjuangan" yang ditulis oleh A. Helmy Faisal Zaini. Peluncuran ini dihadiri oleh para pemuka lintas agama di Indonesia, yaitu Romo Agus Ulahayanan (Komisi HAK KWI), Pendeta Andreas Anangguru Yewangoe (PGI),  Bhiksu Wiraduta (Budha), Romo Daniel Bambang Dwi Byantoro (Gereja Ortodoks Indonesia)  dengan keynote speaker Ketua PBNU Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj.  Buku ini merupakan kumpulan naskah dari penulis dalam merespons berbagai persoalan nasionalisme kebinekaan Indonesia dari sudut pandang Nahdlatul Ulama.

Acara diawali dengan penandatangan giant cover, dilanjutkan dengan penyerahan buku secara simbolis dari penulis kepada nara sumber, sambutan-sambutan, serta diskusi oleh para nara sumber yang ditutup dengan buka puasa bersama.


Sambutan diawali oleh Direktur Penerbit Erlangga Bapak Marulam Hutahuruk. Beliau mengatakan bahwa buku ini lahir oleh jiwa yang rindu akan kedamaian dalam kebinekaan, di tengah konflik SARA yang saat ini sangat kental di Indonesia. Buku ini kaya rasa karena membahas dari sisi ekonomi, sosial, budaya, dan politik.

Penulis sendiri menjelaskan, bahwa judul buku ini menggunakan kata miqat, yang dalam bahasa Arab artinya 'batas'. Miqat Kebinekaan menggabungkan antara miqat zamani (waktu) dan miqat makani (ruang). Dimensi ruang dan waktu yang bertemu menjadi kebersamaan itulah yang disebut Miqat Kebinekaan. Lebih jauh penulis mengatakan, bahwa motivasinya menulis buku ini adalah karena banyaknya gerakan yang jauh dari nilai keislaman. Di buku ini ia ingin menampilkan Islam yang ramah, merangkul dan cinta damai.

Sebagai keynote speaker, Ketua PBNU Prof. Dr. KH. Said Agil Siroj dalam kesempatan ini menegaskan bahwa keragaman agama dan budaya di Indonesia merupakan penghargaan dari Tuhan. Lahir di Indonesia, artinya sudah sengaja didesain dan disiapkan oleh Tuhan sebagai bangsa yang bineka dan ini tidak bisa ditawar. Fakta ini sudah diungkap oleh KH Hasyim Ashari, bahwa Islam dan nasionalisme harus saling memperkuat. Nasionalisme adalah bagian dari iman, karena keimanan belum sempurna kalau belum ada semangat nasionalisme. Sejak jaman dulu, NU adalah pembentuk karakter dan jati diri bangsa yang kuat dan solid, akur, gotong royong, cinta damai, tidak menebar fitnah dan kebencian. Para Ulama bergerak di akar rumput dengan menggunakan acara Tahlilan sebagai media rekonsiliasi. Terciptanya kebinekaan salah satunya karena karena para pendiri bangsa punya empati yang besar terhadap minoritas, dan kebinekaan harus dirawat agar tetap dapat dinikmati oleh generasi-generasi mendatang.

Selanjutnya, dalam sesi diskusi dan bedah buku, Pdt Andreas dari PGI mengatakan bahwa dalam buku ini penulis dengan sangat tegas dan berani menyatakan bahwa Pancasila sudah final dan tidak boleh diotak-atik lagi. Hanya perlu dipikirkan bagaimana mengimplementasikan dan mengaktualkan nilai-nilai Pancasila tersebut dalam hidup sehari-hari sehingga tidak hanya berhenti sebagai hafalan. Penulis juga menegaskan bahwa iman Islam bisa difahami secara konkrit dalam ranah nasionalisme. Ini juga memberi ruang kepada agama lain bahwa iman hidup dalam nasionalisme dari perspektif agama masing-masing. NKRI konsep final bangsa indonesia dalam bertata negara. Islam Nusantara dididik dalam Pesantren, sehingga Pesantren memainkan peranan yg penting dalam bernegara. Sekretaris Komisi HAK KWI, Romo Agus Uluhayana menambahkan bahwa Pancasila berhasil mengemas semangat Ketuhanan dan kemanusiaan tersebut secara apik menjadi dasar ideologi bangsa. Apabila kelompok yang berbeda saling menghujat, maka mereka tidak lagi menghayati nilai Pancasila, dan di saat yang sama menentang hasil ciptaan Yang Maha Kuasa. Bhiksu Wirayuda kemudian menegaskan agar masyarakat kembali mengingat semangat Sumpah Pemuda, yaitu satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa, dan didalamnya tidak ada kata-kata satu etnis ataupun satu agama. Romo Daniel dari Gereja Ortodoks Indonesia  punya kegalauan sendiri dengan situasi sekarang yang didominasi dengan ancaman dan penuh kebencian.tanpa ada perlawanan. Beliau berharap bahwa akan ada yang dengan kencang menyuarakan pesan damai, seperti yang dilakukan dengan peluncuran buku ini.  Perbedaan yang sudah ada sejak dahulu kala harusnya diwadahi agar tidak terjadi konflik.

Sebagai kata penutup, seluruh perserta sepakat bahwa untuk mengatasi kondisi saat ini, yang diharapkan bukanlah bagaimana mengubah orang yang intoleran menjadi toleran, namun bagaimana orang toleran dapat menjadi agen toleransi. Narasi dalam bentuk tagline/pesan singkat juga sedang dikembangkan agar hal-hal yang disampaikan dapat ditangkap dengan mudah oleh masyarakat. Agar masyarakat tahu, bahwa Pancasila adalah sebuah perkawinan antara local wisdom dan ajaran agama sebagai sesuatu yg indah dan tidak bertentangan . Yang tidak kalah penting adalah mengingatkan bahwa Pancasila digali dari nilai-nilai bangsa, sehingga sebenarnya sudah hidup mengakar di masyarakat kita dan hanya disarikan oleh para pendiri bangsa. Negara hanya bisa mengatur secara kebijakan agar nilai-nilai tersebut selaras dengan kesepakatan kita dalam Pancasila. Oleh sebab itu, cara paling tepat untuk menghidupkan kembali Pancasila di masyarakat adalah dengan pendekatan bottom up, bukan top down. Akhir kata, semua pihak bersyukur dengan adanya NU yang sejak jaman dahulu sampai hari ini dengan gigih memperjuangkan kebinekaan. Diharapkan lembaga-lembaga keagamaan lain pun memiliki semangat yang sama sehingga dapat saling memperkuat dan membentengi diri terhadap semua pengaruh buruk yang dapat merusak kedamaian NKRI.

Friday, June 2, 2017

Seminar Success Story Penyembuhan Kusta - Sebuah Pelajaran dari Kabupaten Lembata NTT

Pada hari Kamis, 27 April 2017, relawan Sahabat Insan (Marsia) yang sedang menjalani program magang di Migrant Care, diundang untuk mengikuti Seminar Nasional Kusta 2017 dengan tema Success Story Penyembuhan Kusta di Lembata, NTT. Seminar diadakan oleh Komisi Keadilan dan Perdamaian - Migran dan Perantau KWI (KKP-KP KWI) bekerja sama dengan Lembaga Psikologi Terapan Kupang (LPT-K). LPT-K sendiri merupakan lembaga riset yang berdiri sejak tahun 2007 dan membawa paradigma baru untuk penyembuhan yang berbasis pada pendekatan holistik, yaitu secara fisik, psiko-sosial dan spiritual. Seminar diadakan di kantor KWI, Jalan Cut Mutia No. 10 Jakarta Pusat pada jam 8 pagi hingga kurang lebih sampai jam 2 siang, dan dihadiri kurang lebih sekitar 120 undangan.




Seminar ini sendiri diadakan dengan tujuan menginformasikan kepada khalayak mengenai metode terkini penyembuhan kusta yang telah terbukti berhasil dilakukan di Lembata, NTT, serta menggalang kerja sama dengan berbagai pihak agar metode ini dapat berkembang dan berguna bagi pihak atau komunitas yang membutuhkannya. Metode tersebut dikenal dengan nama A New Holistik Intervention, sebuah metode pengobatan alternatif yang dikembangkan oleh Drs. Porat Antonius M.A. selama 10 tahun terakhir ini, dan telah menyembuhkan banyak orang di berbagai tempat. 

Acara ini dibuka dengan pemutaran film singkat tentang perjalanan penyembuhan kusta di Lembata NTT, yang dilanjutkan dengan testimoni penyembuhan kusta oleh Ibu Theresia Peni, mantan penderita kusta yang didampingi oleh LPT-K dan sekarang telah dinyatakan sembuh / negatif kusta baik secara medis maupun penelitian laboratorium. Ibu Theresia Peni didiagnosa menderita kusta sejak pertengahan Mei 2015, dan sejak bulan Juni 2016 berada di bawah pendampingan LPT-K untuk melakukan penyembuhan kusta secara holistik.

Drs Porat Antonius, M.A selaku Direktur LPT-K kemudian menjelaskan lebih lanjut tentang metode tersebut. Menurutnya, butuh intervensi menyeluruh bagi penderita kusta agar dapat mengalami kesembuhan secara total. Seperti telah disebutkan di atas, penyembuhan harus dilakukan dari berbagai sisi. Pola pendekatan spiritual, dilakukan dengan memberikan semangat kepada para pasien untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah sesuai dengan agama masing-masing. Selain itu, perlu juga dikembangkan relasi dengan orang lain dan lingkungan sekitar sehingga pasien bisa berdamai dengan diri sendiri dan juga lingkungan sekitarnya. Kondisi psikologis seperti ini akan sangat mendukung kesembuhan pasien kusta. 

Pada seminar ini, hadir pula para perawat yang menceritakan kisahnya selama mendampingi pasien kusta. Pada penelitian awal, di Kabupaten terdapat 76 orang yang terindikasi memiliki penyakit kusta. Dari jumlah tersebut, sebanyak 33 orang setuju untuk ditangani oleh LPT-K, dan akhirnya tersisa 20 orang yang ditangani oleh para perawat sampai mendapatkan kesembuhan totalnya. Langkah pertama yang dilakukan oleh para perawat adalah mengembalikan kepercayaan diri pasien, karena pada umumnya penderita kusta merasa rendah diri serta menutup diri terhadap lingkungan sekitar, serta mengalami penghakiman dari masyarakat. Dengan dukungan semangat dari para perawat, pasien merasa dimanusiakan kembali dan memperoleh kepercayaan dirinya kembali serta memiliki semangat untuk sembuh. Tahap selanjutnya adalah dengan memberikan terapi makanan yang jenisnya berbeda-beda untuk tiap pasien karena setiap kasus adalah unik. 

Selanjutnya, juga dibahas penyembuhan kusta dalam perspektif iman (Katolik, Islam, Kristen, Hindu, Buddha dan Konghucu) juga dalam perspektif ilmu pengetahuan yang dibawakan oleh Dr. Rufus Patty Wutun (Pendekatan secara Psiko-Sosial dan Kesehatan), pendekatan nutrisi dan kesehatan oleh Elisa Rinihapsari, M.Si. Med, temuan hasil penelitian di Kabupaten Lembata oleh Dr. Pius Werawan serta kesehatan, kusta dan persoalan lingkungan hidup oleh Budiman Sitepu

Pada akhirnya, agar dapat mengalami kesembuhan total, diperlukan kerjasama yang konsisten antara pasien, keluarga pasien serta tim perawat dari LPT-K yang mendampingi proses penyembuhan pasien. Serta tidak kalah pentingnya,  melibatkan Allah di setiap tahap yang dilalui sehingga seluruh pihak yang terlibat mendapatkan kekuatan dan harapan akan keberhasilan perjuangan yang sedang mereka lakukan.

Semua materi seminar dapat diunduh melalui link https://seminarkusta.org/

Wednesday, May 3, 2017

Rangkaian Kegiatan Pertemuan JCAP Migration Network di Jepang

Catatan Sr. Laurentina, PI dalam Pertemuan Jaringan Migran - JCAP (Jesuit Conference of Asia Pacific’s Migration Network) di Jepang (http://sjapc.net/content/charting-new-course-migration-network



Syukur pada Allah Penyelenggara, yang karena Kasih-Nya memberikan kepercayaan pada saya untuk menghadiri pertemuan tahunan Jesuit Conference of Asia Pacific’s - JCAP yang diselenggarakan pada tanggal 22 - 26 Maret 2017 di Yesuit Social Center, Sophia University, Tokyo Jepang. Pengalaman pertama bagi saya mengikuti pertemuan ini, dengan keterbatasan bahasa yang sangat minim namun saya tetap bersyukur pada Allah bahwa saya tidak sendirian. Ibu Astuti yang setia dan sabar membantu saya dalam memberikan informasi saat pertemuan tersebut. Saya juga sangat terkesan dalam penyambutan tuan rumah yang sangat ramah dan sangat baik. Kami dijemput oleh Ibu Jessie Tayama yang sangat peka melihat saya kedinginan dan meminjamkan jaket dan syal pada saya. Setelah itu kami diantar ke Tokyo Inn Hotel untuk meletakkan barang-barang kami. Peserta wanita, yaitu Sr. Wei-Wei dan Ibu Chia-Ling dari Taiwan, Sr. Dennis Coghlan dari Kamboja, Ibu Astuti dan saya sendiri, bermalam di hotel tersebut. Untuk peserta yang laki-laki bermalam di rumah Yesuit. Setelah dari hotel, kami langsung menuju kompleks rumah Yesuit, tepatnya di kantor pusat karya Sosial Yesuit Tokyo. Perkenalan singkat dan sangat sederhana serta keramahan tuan rumah,membuat kami merasa diterima dengan baik. Dalam pertemuan yang singkat itu kami membicarakan tentang beberapa hal praktis untuk persiapan pembukaan yang akan dilaksanakan pagi harinya.

Pada tanggal 23 Maret, acara dibuka oleh Provinsial Jesuit Jepang. Dalam sambutannya, beliau mengatakan sangat gembira sekali dapat bertemu dengan para peserta dari berbagai negara, yaitu Indonesia, Jepang, Korea, Thailand, Vietnam, Philipina, dan Taiwan. Jumlah keseluruhan yang hadir aktif ada 17 orang sedang yang 6 orang frater Yesuit Jepang tidak hadir secara penuh karena mereka kuliah dan ada acara yang lain. Sedangkan peran dari perwakilan dari masing-masing negara sesuai dengan tugasnya di organisasi masing-masing antara lain Romo Benny Juliawan sebagai koordinator pertemuan, Pater Ando sebagai Ketua Panitia, dibantu dengan Ms Jessie Tayama serta beberapa frater dari Scholastic Jepang dalam membantu kelancaran acara tersebut. 

Pertemuan tahunan ini intinya adalah evaluasi program yang telah disusun pada tahun yang lalu.  Maka kami mendengarkan sharing dari para peserta tentang apa yang telah dilaksanakan dalam program yang telah dibuat sesuai dengan situasi negara masing-masing. Sebelum datang ke Jepang kami diberi beberapa pertanyaan, sehingga kami langsung sharing. Pertanyaan tersebut sebagai acuan untuk membuat perencanaan strategi jaringan ini dengan analisa SWOT, melihat kekuatan dan kelemahan lembaga kita masing-masing: berapa tenaga permanen yang dimiliki, berapa tenaga yang profesional yang dimiliki, bekerjasama / berjejaring dengan siapa saja lembaga kita ini, kebijakan pemerintah yang bagaimana dapat mendukung program kita terutama persoalan buruh migrant ini. Setelah sharing kami pun memperoleh hasil yang akan dijadikan pegangan untuk program yang akan datang, antara lain: pergantian koordinator jaringan ini yang tadinya dipegang oleh Romo Benny Juliawan sekarang diganti oleh Romo Kim Min SJ dari Korea. Koordinator Rorum Novarum Taiwan yang awalnya dipegang oleh Sr.Wei-Wei mulai tahun ini dipegang oleh Ms. Chia-Ling Chung. Pertemuan yang akan datang yang akan bertindak sebagai tuan rumah adalah Negara Philipina, yang rencananya akan diadakan pada tanggal 18-21 April 2018. Disamping itu semua sepakat untuk meningkatkan kerja sama yang lebih baik lagi, dalam jaringan ini.

Kami juga diberi kesempatan untuk mengunjungi karya-karya sosial Yesuit provinsi Jepang dan relasi yang bekerja sama dalam pelayanan sosial, antara lain ke pendampingan migran, AIA (pendampingan keluarga dan anak-anak), mengunjungi Biara Misionaris Cinta Kasih Suster Theresia Calcuta yang di Jepang sekalian perayaan ekaristi di Biara MC, dan kunjungan juga ke Scholastics Yesuit. Saya sangat terkesan pada saat mengunjungi karya yang dikelola oleh Yesuit provinsi Jepang untuk para migrant dari berbagai profesi yang ditampung dalam wadah CTIC (Catholik Tokyo International Center), khususnya karya sosial dalam pendampingan para migran yang bekerja maupun mahasiswa dari berbagai negara, antara lain Afrika, Rusia, Filipina, Taiwan, Vietnam dan Cina. Mereka memberikan pelayanan yang tulus dan sangat berguna bagi para migran yang mau belajar yang sebagian kaum muda yang ingin maju. Pelayanan tersebut antara lain Refugees Café hari Selasa dan Kamis, Japanese Class hari Selasa, Rabu dan Kamis, Food and Clothing Support hari Senin dan Jumat, Consultation Senin dan Jumat dan Medical Consultation. Dalam pelayanan, mereka tidak memandang suku, ras dan agama, semua dilayani dengan baik.






Acara yang terakhir adalah Symposium yang dihadiri oleh para romo Yesuit yang berada di Tokyo dan beberapa mahasiswa serta para suster dan ibu-ibu relasi para romo, dengan nara sumber perwakilan dari 8 negara. Moderator dalam pertemuan tersebut adalah Romo Benny Juliawan, SJ. Acara dimulai jam 15.00 - 17.00 waktu setempat. Symposium tersebut berjalan sangat lancar dan beberapa yang hadir mengungkapkan beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan migran dan trafficking. Selesai acara symposium kami diajak makan bersama dengan Romo Provinsial Jepang di sebuah restoran dekat Yotsuya. Kami mengakhiri acara kebersamaan selama di Jepang dengan penuh keakraban dan sukacita.


Terimakasih yang berlimpah pada Sahabat Insan yang memberikan kesempatan yang sangat berguna bagi saya secara pribadi, terlebih untuk perkembangan karya pastoral human trafficking di Timor dan sekitarnya. Salam Kasih dan Persaudaraaan dari kota Karang (Kupang NTT).





Salam
Sr. Laurentina PI