Tuesday, February 14, 2017

Refleksi Film: "Minah Tetap Dipancung"

Mulai awal bulan Februari 2017, dua orang relawan bergabung dengan Sahabat Insan: Giasinta Angguni atau yang akrab disapa dengan Gone serta Marsiana Inggita atau Marsia. Keduanya selama ini aktif di MaGis dan saat ini memiliki waktu untuk membantu kegiatan-kegiatan Sahabat Insan.


Seperti relawan-relawan lainnya, Gone dan Marsia pada tahap awal diminta untuk membaca buku "Pengetahuan Dasar Relawan Sahabat Insan" yang berisi tentang istilah-istilah dan informasi yang berkaitan dengan dunia migran. Seperti diketahui, selama ini Sahabat Insan memang memberikan perhatiannya kepada nasib para TKI, sehingga saat para relawan sudah familiar dengan dunia tersebut, mereka akan dengan mudah masuk untuk terlibat dengan kegiatan-kegiatan Sahabat Insan.

Selanjutnya, mereka berdua diminta untuk menonton beberapa film yang berkisah tentang penderitaan yang dialami oleh para migran, dan setelah itu merefleksikannya. Kali ini, film yang ditonton adalah: MINAH TETAP DIPANCUNG, sebuah film karya Denny JA - Hanung Bramantyo yang kisahnya diadopsi dari www.puisi-esai.com. Film ini mengisahkan seorang TKW yang memiliki mimpi untuk meningkatkan taraf hidup keluarga dengan mencari nafkah di negeri orang. Mimpinya kemudian hancur saat tiba di sana dan mendapati kenyataan demi kenyataan yang malah membuatnya kehilangan nyawa. Berikut refleksi dari Gone dan Marsia tentang film tersebut:


Minah, Potret Ketidakadilan TKW
Giasinta Angguni

“Mas, ijinkan aku menjadi TKW ke Arab supaya anak kita bisa sekolah”. Saya lupa kalimat persisnya, namun kira-kira alasan itulah yang membuat tokoh Aminah dalam film Minah Tetap Dipancung nekat pergi untuk mengais rejeki di negeri orang.

Meski sudah sering melihat berita tentang penyiksaan TKW melalui TV atau koran, saya sering menganggapnya sebagai sebuah persoalan yang tidak berkaitan langsung dengan diri saya. “Ah, itu kan terjadi di tempat yang jauh. Sudah tahu banyak sekali yang disiksa, kok masih ada yang mau jadi TKW di luar negeri?” Begitu pikir saya tiap kali membaca atau menonton berita penyiksaan TKW Indonesia.

Hari ini Romo Is meminta saya menonton film Minah Tetap Dipancung. Karena alasan ekonomi, Aminah atau Minah pun pergi ke Arab Saudi melalui agen penyalur tenaga kerja. Ia harus mengeluarkan dana empat juta rupiah untuk biaya pelatihan, mengurus surat-surat, dan lain-lain. Sawah orang tua pun digadaikan untuk modal Minah pergi ke Arab. Ia berharap gajinya nanti dapat dikirimkan untuk mengganti biaya modal yang telah dikeluarkan. Tekadnya hanya satu, ia ingin membahagiakan keluarganya, terutama anak perempuannya yang ingin bersekolah.

Diiringi isak tangis dari anak serta keluarganya, Minah pun berangkat ke Arab. Ia bekerja sebagai pembantu di sebuah keluarga. Awalnya semua berjalan lancar. Namun, Minah tak kunjung mendapat gaji pertamanya. Ia tak bisa mengirimkan uang kepada keluarganya di kampung. Minah juga tak memiliki hari libur untuk sekedar keluar rumah dan berjalan-jalan.

Majikan pria sering menggoda Minah hingga akhirnya ia diperkosa. Minah diancam untuk tidak mengadukan perbuatannya. Kejadian tersebut dilakukan berulang kali. Minah pun melapor pada istri sang majikan. Bukannya perlindungan yang ia dapatkan, justru istri majikan malah menyiksa Minah karena dianggap telah menggoda suaminya. Minah dipukul, dijambak, bahkan tidak diberi makan.

Suatu ketika, sang majikan berusaha memperkosa Minah lagi. Untuk membela diri, Minah pun menikam majikannya dengan gunting hingga majikannya tewas. Minah pun ditahan dan tidak mendapat bantuan hukum. Di Arab Saudi, nyawa harus dibalas nyawa. Minah pun dihukum pancung tanpa mendapat kesempatan membela diri dan perlindungan hukum.

Ada perasaan tidak enak yang muncul di hati saya setelah selesai menonton film tersebut. Miris. Sedih. Kecewa. Kasus Minah ini pasti sering dialami oleh para TKW Indonesia di luar negeri. Meskipun demikian, setiap tahun Indonesia selalu mengirimkan setidaknya 6,5 juta tenaga kerja ke luar negeri. Mereka pergi tanpa ada perlindungan, mengorbankan banyak hal dengan harapan bisa membawa pulang banyak uang.

Terselip juga perasaan marah karena melihat bagaimana Minah (dan mungkin juga para TKW) diperlakukan. Oleh para majikan, para TKW dianggap barang miliknya yang bebas diperlakukan sesukanya. Sedangkan oleh para penyalur tenaga kerja, para TKW adalah mesin pencetak uang yang dapat mereka peras sesukanya dengan menarik bayaran tinggi sebelum berangkat.

Perasaan-perasaan tidak enak ini terus membayangi saya yang sebelumnya merasa bahwa persoalan para TKW adalah bukan urusan saya. Film Minah Tetap Dipancung berhasil mengetuk rasa kemanusiaan saya. Saya masih belum tahu apa langkah konkret yang bisa saya lakukan untuk membantu nasib para TKW. Namun, sekarang mulai muncul kesadaran dalam diri saya untuk ikut memikirkan nasib mereka.



Minah Tetap Dipancung
Marsia Inggita

Siapakah Minah? Mengapa tulisan ini berjudul “Minah Tetap Dipancung?”. Film yang baru pertama kali saya tonton ini mengisahkan tentang seorang TKI asal Cirebon bernama Minah yang mengais rejeki ke Negeri Saudi Arabia demi bisa menyekolahkan anaknya. Berawal dari melihat keinginan anaknya untuk sekolah dan dikarenakan kondisi perekonomian keluarganya yang sangat tidak mampu dan tidak memungkinkan untuk menyekolahkan anaknya, Minah mengurungkan niatnya untuk terbang ke Negeri Saudi Arabia untuk bekerja sebagai TKW agar bisa mendapatkan penghasilan lebih dan membawa pulang hasilnya tersebut untuk segera diberikan kepada suami dan anaknya.

Akan tetapi, mimpi tetaplah mimpi. Harapan Minah untuk bisa pulang, kembali ke kampung halamannya, bertemu dengan suami, anak dan keluarganya dan membawa hasilnya itu hanyalah sebuah ekspetasi. Disana ia malah diperlakukan buruk oleh majikannya. Berawal dari ketika masakan Minah dipuji lalu Minah tersenyum. Suami majikannya merasa Minah menggodanya, karena pada dasarnya Minah tidak tahu aturan dan budaya senyum disana diartikan sebagai “godaan”. Lalu Minah mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dimana Minah diperksa berkali - kali oleh suami Majikannya. Minah berusaha membela dirinya dengan cara salah satunya mengadu kepada istri Majikannya. Ternyata yang diterima Minah malah perlakuan kejam, dipukul dan dicambuk bahkan diseret oleh istri Majikannya.

Sampai pada akhirnya, Minah mencoba untuk membela dirinya ketika suami majikannya berniat untuk memperkosanya lagi, Minah membela dirinya dengan cara membunuh suami majikannya itu. Setelah kejadian itu, Minah langsung mendapatkan tindakan hukum sebagai pembunuh. Di film ini menceritakan juga bagaimana pemerintah Indonesia lamban menangani kasus Minah ini sampai pada akhirnya nasib Minah tidak bisa ditolong lagi. Minah divonis hukuman mati dengan cara dipancung. Pemerintah Indonesia hanya berjanji agar proses hukum Minah segera selesai. Tetapi karena lambannya tindakan dan pemerintah hanya memikirkan egonya sendiri, Minah pun tetap dihukum pancung.

Jujur saja, perasaan saya setelah melihat film ini sangat terpukul sebagai warga negara Indonesia. Saya membayangkan bagaimana jika orang tua, saudara, kerabat dekat saya atau saya sendiri berada di posisi Minah. Kita, warga negara yang menjadi TKI di negara lain berjuang bekerja sebagai buruh migran demi kehidupan keluarga selanjutnya, demi memenuhi kebutuhan hidup dan perekonomian keluarga, agar bisa menyekolahkan anak dan sebagainya. Bagaimana mungkin kita bekerja tidak sama sekali mendapatkan perlindungan hukum dan ketenagakerjaan? Kita berhak! Pemerintah tidak boleh lamban dan diam saja. Apalagi ini menyangkut harga diri seseorang. Menurut saya tindakan pemerintah seperti di film tersebut merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia dan korupsi.

Kenapa saya bisa menghubungkan Korupsi dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia? Karena hampir dalam semua kasus korupsi, secara langsung maupun tidak langsung akan diikuti oleh pelanggaran HAM. Perbuatan korupsi selalu berawal dari adanya penyalahgunaan kekuasaan, artinya pelaku korupsi biasanya dilakukan oleh para pemegang kekuasaan. Dengan kata lain, bahwa perbuatan menyimpang yang dilakukan oleh aparat birokrasi dalam bentuk korupsi, dapat membuat kesengsaraan bagi rakyat kecil disuatu negara. Itu artinya dengan perbuatan korupsi telah terjadi perampasan terhadap hak-hak masyarakat atas hak ekonomi, sosial dan budaya, itu berarti telah terjadi pelanggaran HAM.[1]




[1]Oktovianus Lawalatta, “Korupsi dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia”,diakses dari http://fhukum.unpatti.ac.id/korupsi/254-korupsi-dan-pelanggaran-hak-asasi-manusia,pada tanggal 13 Februari 2017 pukul 16.31