Wednesday, April 26, 2017

Hagar’s Migration and Spirituality for Asian Women

Sebuah tulisan singkat dari makalah Hye Kyung Park (Assistant Prof. Chang Jung Christian University, Taiwan)

Seri Catatan dari “The International Seminar On Service – Learning Among Migrant Laborers”, UKDW – Yogyakarta, 27 Februari  - 02 Maret 2017

I.     Pendahuluan
Secara tradisional, kelahiran putra Hagar menjadi sumber konflik agama di seluruh dunia. Artikel ini membahas spiritualitas Hagar yang adalah seorang budak Mesir (orang luar) dan istri Abraham (orang dalam).
Meskipun Hagar telah diperlakukan sebagai ibu dari musuh dalam tradisi Kristen, Hagar adalah contoh inklusivitas karena utusan Allah mendatanginya dekat mata air di padang pasir dan memulai percakapan dengannya, menyatakan kelahiran Ismail. Dialog antara Allah dengan Hagar mengingatkan kita untuk memperluas fenomena agama kita terhadap percakapan agama. Percakapan agama bukanlah perspektif ekslusif satu agama, melainkan memerlukan pandangan inklusif rohani, menggabungkan perspektif dari beberapa agama ke dalam dialog.
Hagar mengakui Allah sebagai El-Roi (Allah yang melihat) dan sebuah sumur Lahar-Roi (sumur tempat yang hidup melihat saya) setelah Hagar melihat Allah disana. Hal ini menunjukkan bahwa pengakuan tersebut tidak dibatasi oleh tradisi etnis atau agama, dan bahwa Allah tidak dibatasi oleh batas-batas sektarian.
II.    Berkat Kehidupan
Perasaan masyarakat tentang milik membuat mereka nyaman dan percaya diri. Solidaritas dalam agama mereka sendiri memberi rasa afiliasi. Aspek negatif solidaritas ini adalah bahwa hal itu merusak penerimaan agama yang berbeda dan dengan demikian menjauhkan kenyamanan hidup berdampingan secara damai, rekonsiliasi dan kerjasama antar agama. Agama telah menyebabkan perang sepanjang sejarah manusia. Sifat eksklusif agama menarik garis tegas antara “kami” dan “mereka”. Secara khusus,  Abraham telah digambarkan sebagai bapak spiritual Kristen, Yahudi, dan Muslim. Tapi ironisnya, tiga agama ini terpisah dan tidak bersatu.
Hagar adalah wanita dengan status menengah dalam beberapa konteks: antara Mesir dan Israel, istri dan selir, pembantu dan adik, orang dalam dan orang luar; dan ketidakpastian ini memaksa Hagar untuk membangun identitasnya dalam situasi dimana dia bisa digambarkan sebagai ‘tidak subjek atau objek’.
Tubuh Hagar diposisikan hina yang tidak bisa digabungkan sebagai baik orang dalam maupun orang luar. Situasi hina dan tidak stabil ini adalah ancaman terhadap identitas dan keberadaannya. Allah menampakkan diri kepada Hagar yang mengembara sendirian di padang gurun saat melarikan diri dari Sarah. Utusan itu menyampaikan berkat generasi masa depan dari YHWH kepada Hagar. Hagar menerima janji keturunan seperti halnya Abraham. Identitas hina dan terpinggirkan mungkin membuat Hagar lebih mudah menerima pesan ini sebagai harapan, dan secara umum, keadaan terpinggirkan meniadakan hambatan eksklusif.
III.   Spiritualitas dan Mobilitas Hagar
Dalam kitab Kejadian, Hagar disebut sebagai sipha, issa atau ama. Hagar adalah sipha Mesir (pembantu sebagai milik wanita/nyonya) dalam Kejadian 16:1,3,5 dan 7. Sarah menyebut Hagar sebagai issa (wanita, istri) saat Sarah memberikan dia untuk Abraham dalam Kejadian 16:3. Dalam Kejadian 21:10 dan 13, Hagar digambarkan sebagai ama (pembantu, hamba, secara harfiah pembantu). Salah satu pertanyaan yang sering diajukan adalah apakah Hagar seorang selir atau budak?
Savina J. Teubal menunjukkan bahwa status Hagar rendah dalam narasi Alkitab, yakni :
1.  Hagar adalah shifhah (hamba, pembantu) dari Sarah;
2.  Hagar adalah istri kedua Abraham;
3.  Layanan seksual Hagar dikendalikan oleh majikannya, Sarah;
4.  Keturunan Hagar akan menjadi milik majikannya;
5.  Hagar dihukum karena tidak menurut perintah majikannya, Sarah;
6.  Hagar tidak dapat mengendalikan takdir sendiri;
7.  Hagar berubah dari pembantu Sarah menjadi istri Abraham;
8.  Akhirnya, Hagar hanya dianggap sebagai ibu dari seorang putra Abraham; diberkati Allah sebagai nenek moyang manusia karena garis Patriarch putra Hagar, meskipun salah satu orang tuanya adalah orang Mesir, yang adalah musuh dari Israel.
Sebutan kedua Hagar adalah issa (wanita, istri). Sarah mengambil Hagar dan memberikannya kepada suaminya Abraham sebagai issa dalam Kejadian 16:3. Sarah juga issa Abraham dalam ayat 1, sehingga Hagar adalah issa kedua Abraham karena ijin Sarah. Hagar menjadi seorang istri tetapi memiliki sedikit pengaruh kepada Abraham. Orang menterjemahkannya sebagai "istri sekunder".  Namun demikian, Hagar tidak pernah disebut sebagai pileges yang berarti selir dalam bahasa Ibrani. Hagar adalah "istri" Abraham seperti Sarah.
Sebutan ketiga Hagar ada dalam Kitab Kejadian 21, Hagar sebagai ama yang berarti pembantu atau hamba. Tidak mudah untuk menentukan perbedaan antara sipha dan ama. Ama dalam teks Kejadian, “Singkirkan hamba perempuan dan anaknya, untuk anak budak wanita tidak akan pernah berbagi dalam warisan dengan anak saya, Ishak (Kejadian 21: 10, NIV)”. Rendahnya status Hagar sebagai hamba perempuan diperluas ke Ismail dalam keluarga Abraham.
Setelah meninggalkan kota kelahirannya di Mesir, Hagar kehilangan harga diri karena menjadi ama. Namun, Allah (Elohim) berjanji kepada Abraham, “Aku akan membuat keturunan dari hambamu itu menjadi suatu bangsa juga, karena dia adalah keturunanmu” (Kejadian 21:11). Perjanjian Allah tentang masa depan Hagar digambarkan sebagai janji Allah.
Jika seseorang ingin mengenali arti yang lebih baik dari sipha, harus diingat bahwa Hagar adalah seorang Mesir dan dengan demikian, Hagar adalah perwakilan peradaban kontemporer terbesar. Ketika keluarga Abraham bermigrasi ke Kanaan dengan Hagar, mereka mengadakan usaha kolaboratif dengan dia.Hagar tidak melakukan, setiap pekerjaan kasar untuk melayani Sarah dalam narasi Kejadian 16 dan 21, meskipun Abraham meminta Sarah membuat roti bagi tiga tamu (Kejadian 18: 6). Selanjutnya, etimologi sipha tidak jelas. Menurut Teubal, sipha dari Sarah bisa berarti 'seseorang yang bergabung atau melekat’ dan ‘seseorang atau klan’. Sarah melakukan perjalanan dengan temannya, Hagar, ketika Sarah bermigrasi ke tanah Kanaan. Kemungkinan Hagar adalah putri Firaun jika seseorang percaya legenda rabi dari R. Simeon Yoahi tentang asal usul keluarga Hagar. Legenda ini tampaknya berusaha untuk mengangkat status Hagar sama dengan Sarah dan Abraham, yang menyiratkan pentingnya posisi Hagar sebagai putri Firaun bukan budak Sarah, dan menyiratkan bahwa Hagar orang Mesir yang memilih bermigrasi bersama Abraham dan Sarah.
IV.   Spiritualitas Hagar dan Kelangsungan Hidup
Tiga interpretasi tentang Hagar dalam tradisi Kristen. Pertama, Paulus menegaskan bahwa garis keturunan spiritualnya adalah melalui Sarah dengan mengatakan, “Karena itu, saudara, kita bukanlah anak-anak hamba perempuan, tapi perempuan merdeka” dalam Galatia 4:31. Bagi Paulus, Hagar tidak bisa melahirkan anak yang dijanjikan, sementara Sarah bisa. Paulus mendorong orang-orang di Yerusalem untuk menganggap mereka keturunan bebas dari wanita bebas, Sarah. Dengan demikian, Paulus memfokuskan pada legitimasi dari status Sarah sebagai wanita benar;  pandangan sempit ini tidak mendukung dialog terbuka antar agama.
Kedua, Origenes, seorang teolog Kristen awal, menyarankan bahwa Kristen bisa belajar dari perjalanan spiritual Hagar. Baginya, Hagar adalah simbol Yahudi yang tidak dapat “minum air suci yang berada tepat di depan mereka”. Untuk saat ini orang-orang Yahudi berada di sekitar sumur itu sendiri, tapi mata mereka ditutup dan mereka tidak dapat minum dari sumur Hukum dan para nabi. Kehidupan Hagar diperlakukan sebagai kedagingan Yahudi (Synagoga) sementara kehidupan Sarah dipahami mewakili semangat Kristen (Ecclesia). Distorsi dari latar belakang etnis menyatakan Hagar mewakili orang Yahudi yang tidak mampu menerima air hidup Kristus, tanpa mempertimbangkan kehidupan nyata Hagar di padang gurun bersama keluarga Abraham, melainkan hanya menggunakan Hagar untuk melambangkan status non-beriman dalam doktrin Kristen kontemporer.
Ketiga, Jerome yang mengambil versi LXX dari Mazmur 5: 1, bukan teks Ibrani yang diterjemahkannya ke dalam bahasa Latin. Dalam tradisi Jerome, “dia” adalah Sarah yang menerima warisan dan berarti bahwa Hagar bukanlah orang yang tepat untuk menerima warisan. Perbedaan ekstrim ini terjadi antara teks Ibrani dan LXX karena penafsiran yang berbeda atas satu poin vokal ‘nhlt’ dari kata Ibrani, yang dapat diterjemahkan menjadi “instrumen” atau “warisan”. Tujuan dari penterjemah LXX ini mencerminkan penolakan Hagar dalam tradisi LXX. Wanita ini tidak diberi nama dalam Mazmur 5, dan warisan diberikan untuk anak Sarah dan bukan putra dari Hagar.
V.    Spiritualitas dan Lokalisasi Hagar
Kisah kelangsungan hidup Hagar berkaitan dengan janji generasi berikutnya. Hagar mendapat janji Allah tentang kelahiran Ismail setelah ia melarikan diri dari Sarah. Pemberitaan Ismail dalam ayat 11 menunjukkan kehendak dan berkat Allah. Kedua ayat 11 dan 12 memiliki struktur yang sangat khas pemberitaan: “pengumuman kelahiran seorang putra (v.11a), nama (11b), dan definisi dari takdirnya (12)”.
Struktur pemberitaan yang menjelaskan peran penting Hagar dalam kisah Abraham. Janji anak untuk Hagar telah dibandingkan dengan janji akan Yesus kepada Maria dalam Lukas 1: 28-32. Pemberitaan tentang kehadiran anak laki-laki adalah titik balik dari kehidupan ibu-ibu ini. Nama anak Hagar adalah Ismael, yang berarti “Tuhan mendengar”.Untuk Hagar, nama Ismael memberikan harapan bagi masa depannya karena Allah mendengar penderitaan Hagar. Pemberian nama ini memberikan harapan bagi Hagar dan Ismail, dan harapan bagi mereka yang akan tertindas oleh orang Mesir dan yang  menangis kepada Allah. Allah akan mendengar penderitaan orang Israel di Mesir. Arti dari pengharapan Hagar meluas kepada orang-orang Yahudi, yang akan mengalami keselamatan dan pembebasan. Spiritual Hagar tidak terbatas pada dirinya sendiri, tetapi merupakan bagian integral dari tradisi Yahudi.
Hagar mungkin frustrasi karena marjinal, status tunawisma-nya. Hagar mungkin tidak memiliki teman / pengikut karena status kehidupan yang menyakitkan.Namun, El-Roi memberi kekuatan untuk bertahan hidup antara menjadi orang dalam dan orang luar bagi Hagar. Nama yang diberikan juga menampilkan sumur Lahai-Roi (Kejadian 16:14). Sumur Lahai-Roi yang berarti “Sumur tempat yang hidup melihat saya” adalah tempat pemberitaan Hagar dan wahyu Allah. Nama sumur Lahai Roi “berdiri sebagai pengingat permanen lawatan penuh belas kasihan Tuhan.” Tuhan menunjukkan belas kasihan kepada Hagar yang tidak yakin akan  identitasnya sebagai orang luar yang hidup dengan orang Israel, tetapi di kemudian hari menjadi sepenuhnya terintegrasi sebagai leluhur yang dihormati. Tindakan dan percakapan Allah dengan Hagar menunjukkan bahwa Hagar bukanlah ibu dari musuh-musuh agama Kristen. Hagar tidak lagi diperlakukan sebagai orang luar, tetapi diperlakukan sebagai orang dalam di dekat sumur Lahai-Roi.
Apakah Ishak memiliki perseteruan terhadap Hagar dan Ismail? Teks-teks Alkitab tidak memberitahu kita tentang kehidupan sehari-hari dari karakter ini. Namun, sumur Lahai-Roi muncul dua kali dalam kisah Ishak. Pertama, Ishak bertemu istrinya Ribka setelah datang dari sumur Lahai-Roi dalam Kejadian 24:62. Kedua, setelah kematian Abraham, Allah memberkati Ishak dan Ishak berdiam dekat sumur Lahai-Roi (Kejadian 25:11). Keberadaan sumur Lahai-Roi adalah koneksi simbolik antara Hagar dan Ishak. Dengan demikian, sumur Lahai-Roi merupakan rekonsiliasi antara orang luar dan orang dalam, dan peringatan akan Hagar yang mewakili inklusifitas dari keluarga Abraham, kemarin dan hari ini.
VI.   Kesimpulan
Perjalanan spiritual Hagar dari keluarga Mesir ke keluarga Abraham mencerminkan proses pembicaraan agama. Meskipun ia adalah orang luar, dia menjadi orang dalam dengan proses spiritual inklusivisme: mobilitas, kelangsungan hidup, dan lokalisasi. Orang memilih apa yang perlu ditinggalkan dan apa yang patut dipertahankan, ketika mereka berhadapan dengan agama-agama lain. Pengalaman Hagar mewakili dinding antara orang luar dan orang dalam, tetapi Allah mendamaikannya dan memberikannya harapan untuk anaknya dan masa depan, dan mencurahkan belas kasihan dengan menjanjikan generasi masa depannya.
Pengakuan atas satu dasar antara Kristen, Yahudi, dan Islam karena garis keturunan spiritual dari Abraham; fakta bahwa orang percaya dari ketiga agama tersebut berbagi Abraham tidak berarti itu akan menjadi “landasan bersama untuk membawa perdamaian dan keadilan yang lebih besar ke dunia global pluralistik.” Namun, perjalanan spiritual Hagar menawarkan contoh penerimaan dan rekonsiliasi, yang bisa menginspirasi dialog agama. Kehidupan Hagar mencerminkan pertanyaan identitas terpinggirkan: “Apakah saya seorang hamba? Apakah saya istri Abraham? Apakah saya seorang Mesir atau Israel? Apakah saya salah satu dari mereka? Apakah saya baik? Apakah Ismail seorang Mesir atau Israel?”. “Batas” antara orang luar dan orang dalam dapat menjadi tempat yang menakutkan dan bermusuhan, tetapi juga tempat berbuah karena Allah melihat konflik Hagar dan memberinya masa depan. Tuhan juga melihat percakapan agama kita, hari ini.

R. ASTUTI SITANGGANG, SH., MH